CARA AGAMA MEMANDANG KONSERVASI ALAM
Pendekatan Agama Untuk Pelestarian Keanekaragaman Hayati
Oleh. Sunandar, S.Si
(Kepala MAS Diniyyah Al Azhar Bungo dan Sarjana Ekologi Jur. Biologi Universitas Andalas)
Pelestarian keanekaragaman hayati (Biodiversity) adalah sesuatu hal yang sangat penting dalam kehidupan. Keragaman makhluk hidup akan memberikan kekuatan untuk terjadinya interaksi antar seluruh komponen yang ada di alam. Namun keragaman tidak selamanya stabil. Ada kalanya mengalami penurunan yang disebabkan faktor alam (gempa bumi, banjir, kebakaran dan longsor) ataupun faktor dari manusia yang rakus mengeksploitasi alam. Penebangan liar, perburuan illegal, pembukaan lahan dan pemukiman tanpa terkendali serta fragmentasi lahan untuk kawasan industri merupakan gangguan manusia yang sangat diperhitungkan sekali di masa kini sebagai pemicu utama terjadinya penurunan nilai keanekaragaman hayati di alam.
Penurunan pada nilai keanekaragaman akan menyebabkan turunnya hubungan interaksi antar makhluk hidup sehingga keseimbangan tidak ada lagi. Jika ekosistem terganggu maka semuanya yang ada di dalamnya termasuk manusia akan ikut merasakan dampak buruknya. Walaupun juga ada faktor dari alam seperti; banjir, longsor, kebakaran , gempa bumi dan sebagainya tapi sebagian dari kasus-kasus tersebut justru diinisiasi (diawali) ulah manusia itu sendiri. Ekosistem yang sudah terlalu rusak oleh manusia mengakibatkan kemampuan alam agak sedikit kesulitan untuk melakukan suksesi atau menormalisasinya sehingga bencana alam menjadi tak terhindarkan untuk tidak terjadi.
Konsep pelestarian keanekaragaman hayati membutuhkan banyak pendekatan agar keselamatan alam bisa terlaksananya dengan baik. Salah satu pendekatan yang coba untuk digalakkan para konservasionist (ahli konservasi) adalah melalui pendekatan nilai-nilai keagamaan. Bukan bermaksud mengesampingkan pendekatan lain seperti; ilmu pengetahuan dan teknologi, pendekatan hukum, pendekatan sosial budaya, dan pendekatan wisata tapi pendekatan ini dianggap penting karena dogma-dogmanya yang sangat mengikat. Pendekatan keagamaan dalam pelestarian memiliki makna bahwa nilai-nilai keagamaan dapat menjadi sendi yang sangat penting untuk menaungi terlaksananya pelestarian alam di lingkungan masyarakat yang beragama.
Keraf (2002) menyatakan pada dasarnya seluruh agama di dunia mengajarkan manusia untuk hidup damai, berkelanjutan dan berharmonisasi dengan alam. Spritualitas keagamaan diakui Mangunjaya (2006) penting untuk jadi pertimbangan para ahli lingkungan untuk mengingatkan manusia agar memelihara dan melestarikan alamnya.. Fritjof Capra juga pernah mengungkapkan bahwa banyaknya musibah yang terjadi di bumi disebabkan karena pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang dilakukan manusia sangat minus dengan nilai-nilai spritualitas. Mantan Wakil Presiden Amerika Serikat Al Gore juga membenarkan hal yang demikian dengan mengungkapkan pernyataan yang cukup terkenal yaitu;
“ Semakin dalam saya menggali akar krisis lingkungan yang melanda dunia, semakin mantap keyakinan saya bahwa krisis ini tidak lain adalah manifestasi nyata dari krisis spiritual kita”
Dengan demikian, konsep pelestarian terhadap keanekaragaman hayati tidak lagi menjadi monopoli orang-orang ekologi saja atau orang yang fanatik dengan prinsip konservasionisme (paham konservasi) semata saja tapi menjadi syariat yang dapat dipakai oleh seluruh manusia yang mengaku beragama. Masalahnya, krisis lingkungan saat ini sangat membutuhkan keterlibatan agama sebagai sendi untuk melestarikan alam. Dogma-dogma agama sangat diperlukan untuk memberikan kekonsistenan sikap manusia dalam melakukan penyelamatan terhadap alam dimana beragam makhluk mendiaminya dan hidup di dalamnya.
Aplikasi keterlibatan agama secara nyata mulai dibuka dan diterapkan pasca Deklarasi Assisi (1986) yang dimotori oleh World Wildlife Fund (WWF) di Assisi Italia. Para tokoh agama masing-masing diberi kebebasan menyampaikan pandangan keagamaannya terkait upaya pelestarian alam dan membangun komitmen bersama dalam deklarasi untuk menyelamatkan lingkungan alam dari krisis.
Menurut Primack et al (2007) ada beberapa point pernyataan penting yang diungkapkan para tokoh agama dalam Deklarasi Assisi tersebut terkait penyelamatan lingkungan.
1. Manusia adalah pengemban amanah yang berkewajiban untuk memelihara keutuhan ciptaan-Nya, integritas bumi, serta flora dan faunanya, baik hidupan liar maupun keadaan alam aslinya. (Pandangan Tokoh Agama Muslim)
2. Kami melawan segala terhadap segala bentuk eksploitasi yang menyebabkan kerusakan alam yang kemudian mengancam kerusakannya (Pandangan Tokoh Agama Kristiani).
3. Kita harus mendeklarasikan sikap kita untuk menghentikan kerusakan, menghidupkan kembali menghormati tradisi lama kita (Pandangan Tokoh Agama Hindu).
4. Kerusakan lingkungan hidup merupakan akibat dari ketidaktaatan, keserakahan dan ketidakpeduliaan (manusia) terhadap karunia besar kehidupan (Pandangan Tokoh Agama Budha).
Dalam skala regional, pertemuan tokoh agama juga pernah dilakukan yang difasilitasi oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bekerja sama dengan The World Bank dalam acara Conference on Religion and Conservation pada 18 Desember 2002, yang menghasilkan ‘Kebun Raya Charter’ . Inti dari piagam ini adalah sangat perlunya melibatkan peran para pemuka agama dan ulama dalam menanggulangi permasalah konservasi alam dan lingkungan hidup.
Pelestarian bukanlah sesuatu hal yang asing dalam nilai-nilai keagamaan. Banyaknya kerusakan alam bukanlah menandakan bahwa pelaku umat yang beragama tidak memiliki nilai-nilai asasi terkait pelestarian alam. Tentu hal ini sangat berbeda dengan apa yang dianggap oleh Lyn White JR. Dia menganggap agama-agama monotheisme mengambil sikap tidak bersahabat dengan alam dimana posisi manusia dianggap sebagai makhluk superior di atas alam sehingga eksploitasi alam menjadi sesuatu hal yang sakral dibenarkan. Pemikiran Lyn White memang tidak dapat dibenarkan tapi apa yang diungkapkan seharusnya menjadi introspeksi manusia yang beragama bahwa ketidakkonsistenan taat terhadap nilai agama (baca: pelestarian) telah menimbulkan interpretasi yang salah bagi mereka yang bangga tidak beragama.
Manusia beragama mestinya benar-benar mengetahui dan menjalani nilai-nilai yang tercantum dalam agamanya. Salah satunya adalah adanya kewajiban untuk melakukan pelestarian terhadap keanekaragaman hayati. Berikut pandangan nilai dari beberapa agama dunia terhadap konsep pelestarian keanekaragaman hayati di alam.
Pandangan Agama Islam
Islam merupakan agama yang sangat menganut prinsip rahmatan lil a’lamin (rahmat bagi seluruh alam). Artinya, setiap manusia yang mengaku sebagai umat Islam sangat dituntut untuk bersikap bijak dan penuh rahmat bagi lingkungannya. Termasuk terhadap keanekaragaman hayati yang menjadi komponen utama lingkungan alam sehingga umat Islam memiliki kewajibaan untuk menjaga dan memanfaatkannya secara lestari.
Allah SWT berfirman dalam Al Quran, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS : Al-A’raaf-56). Dalam surat lain, Allah SWT juga berfirman, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar (QS: Ar-Rum- 41).
Dua firman Allah diatas sangat nyata terlihat adanya dua penegasan terhadap umat Islam. Penegasan pertama, Allah sangat melarang hamba-hamba-Nya untuk melakukan kerusakan. Kerusakan disini bersifat umum, termasuk salah satunya kerusakan terhadap alam yang menjadi habitat manusia dan makhluk hidup lainnya. Sedangkan penegasan kedua, adanya kejadian kerusakan di darat dan di laut sebenarnya bukan kesalahan pada alam tapi ulah tangan manusia itu sendiri dan mereka jugalah yang akan merasakan dampak perbuatannya nanti.
Kasus beberapa bencana alam yang terjadi di Negara Indonesia sudah membuktikan kebenaran firman ini. Banjir tahunan yang selalu melanda Ibukota Jakarta disebabkan karena manusia terlalu rakus dalam mengeksploitasi hutan di kawasan Puncak. Lumpur Lapindo Sidoarjo yang merendam ratusan pemukiman yang tak kunjung selesai sampai saat ini juga merupakan kasus terburuk ulah eksploitasi manusia terhadap alam. Begitu juga dengan longsor dan kebakaran serta kasus-kasus bencana alam lainnya yang sebenarnya jika diteliti lebih seksama ternyata juga diawali dari kerakusan manusia dalam mengolah alam.
Sikap nyata Agama Islam terhadap pelestarian alam telah ditunjukan Nabi Muhammad Rasulullah SAW semasa hidupnya. Rasul pernah menetapkan suatu kawasan pelestarian yang dikenal dengan istilah sebagai Hima’ dan Harim. Menurut Mangunjaya (2005), Hima memiliki pengertian sebagai suatu kawasan yang khusus dilindungi oleh pemerintah (Imam Negara atau Khalifah) atas dasar syariat guna melestarikan hidupan liar serta hutan. Definisi Hima hampir serupa dengan cagar alam atau taman nasional yang ditetapkan pemerintah saat ini. Kawasan tersebut dilarang untuk dikelola kecuali bagi kemaslahatan umum dan kepentingan pelestarian. Kawasan yang pernah ditetapkan rasul sebagai hima yaitu, kawasan alam Gunung Al Naqi di sekitar Madinah dengan luas satu kali enam mil ( 1 mil = 1,848 km atau 2049 ha). Kawasan itu memiliki fungsi perlindungan untuk padang rumput, hewan dan tumbuhan yang ada di dalamnya. Sikap rasul ini juga dilanjutkan setelah wafatnya beliau oleh Khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khatab. Dua khalifah ini semasa pemerintahannya telah melakukan tambahan kawasan perlindungan terhadap kawasan al-Rabadzah dan al-Syaraf.
Harim memiliki pengertian yang sedikit berbeda dari Hima’. Jika Hima lebih terfokus kepada pelestarian tumbuhan dan hewan, maka harim lebih menekankan perlindungan pada sungai, mata air, lahan pertanian dan pemukiman. Fungsi harim tidak jauh berbeda dengan kawasan hutan lindung yang ditetapkan pemerintah masa sekarang. Ketentuan yang diterapkan adalah pembangunan pemukiman di kawasan harim sangat dilakukan secara terbatas demi menjaga kestabilan mata air untuk kehidupan keanekaragaman hayati yang ada di sekitarnya. Kerusakan pada harim akan berdampak besar terjadinya krisis air yang dirasakan semua makhluk hidup sekitarnya. Kondisi inilah yang harus dicegah terlebih dahulu.
Pandangan Umat Kristiani
Di dalam Agama Kristiani (Katholik) ada kisah nyata seorang ulama kristiani yang sangat bijak terkait pelestarian lingkungan yaitu; Santo Francis Assisi. Ulama kristiani ini berasal dari kota kecil Assisi di Italia. Dia sangat dihargai sebagai ulama yang sangat menghormati setiap makhuk hidup. Setiap menyaksikan makhluk hidup yang ditemuinya, maka dia akan melihat ada keberadaan Tuhan sehingga harus dihargai keberadaannya..
Dalam sebuah perjalanannya St Francis Assisi pernah melihat sekelompok burung. Ketertarikannya pada sekelompok orang menyebabkan dia meninggalkan rombongan perjalanannya dan mendatangi kelompok burung tersebut. Setiba di hadapan kelompok burung, Francis Assisi membacakan firman Tuhan sembari berdoa: “Saudara-saudaraku para burung, seharusnya kalian bersyukur kepada sang Penciptamu, dan mencintaiNya, Dia memberimu bulu yang indah sebagai pakaian, serta sayap yang membuatmu dapat terbang ke mana pun yang kau mau. Tuhan telah memberikan kekuasaanya atas mu dibandingkan ciptaan-Nya yang lain, memberimu ruang gerak di udara segar sehingga saat terbang kamu tidak pernah tertubruk atau tidak pernah pula terjatuh. Dialah yang melindungimu dari marabahaya dan mengatur hidupmu tanpa kamu merasakannya.”
St. Francis secara tersirat menjelaskan sangat penting bagi manusia yang mengaku sebagai umat Kristiani untuk menghormati kebebasan makhluk hidup lain di alam sebagai perwujudan sikap menghargai keberadaan ciptaan Tuhan. Kenyamanan dan kebebasan makhluk lain adalah bagian dari kasih sayang Tuhan pada makhluk-Nya yang tidak boleh dirusak dengan ketamakan dan kerakusan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Kelembutan dan keramahan St Francis Assisi terhadap sesama makhluk hidup tidak hanya terhadap kasus kawanan burung saja tapi dia juga berhasil mendamaikan konflik kawanan srigala dengan warga kota Gubbio Italia. Hal ini mendapatkan perhatian serius dari Paus Yohanes Paulus II sebagai sesuatu hal yang positif. Pada tanggal 29 November 1979, St. Francis Assisi mendapat gelar kehormatan dari Paus sebagai “Pelindung Pemeliharaan Kelestarian Lingkungan Hidup dan juga pelopor perdamaian bagi semua agama”.
Pandangan Umat Hindu
Umat Hindu percaya bahwa alam semesta beserta segala isinya adalah ciptaan Tuhan sekaligus menjadi karunia kepada manusia untuk dimanfaatkan bagi kelangsungan hidupnya. Alam semesta harus senantiasa dijaga kelestarian dan keharmonisannya sesuai dengan sikap pemahaman yang sudah diterjemahkan dalam bentuk filosofi Tri Hita Karana, yaitu sebagai tiga jalan menuju kesempurnaan hidup, Jalan pertama adalah hubungan manusia dengan Tuhan; sebagai atma atau jiwa yang dituangkan dalam bentuk ajaran agama yang menata pola komunikasi spiritual lewat berbagai upacara persembahan kepada Tuhan. Jalan kedua, hubungan manusia dengan alam lingkungannya; sebagai angga atau badan tergambar jelas pada tatanan wilayah hunian dan wilayah pendukungnya (pertanian) yang dalam satu wilayah Desa Adat disebut sebagai Desa Pakraman. Dan jalan ketiga yaitu; hubungan manusia dengan sesama manusia; sebagai khaya atau tenaga yang dalam satu wilayah Desa Adat disebut sebagai Krama Desa atau warga masyarakat, adalah tenaga penggerak untuk memadukan atma dan angga.
Pandangan Buddha, Tao, Konfusianisme dan Shinto
Agama Buddha, Tao, Konfusianisme, dan Shinto, menganggap alam sebagai sesuatu yang sangat sakral. Buddha mengatakan pepohonan dan bumi memiliki semangat Buddha, yaitu adanya kehidupan padanya. Tao juga mengajarkan harus adanya hubungan harmonis manusia dan alam. Konfusianisme menekankan bahwa langit dan bumi dinamakan orang tua agung yang memberi kehidupan dan kebutuhan akan hidup.
Pendekatan keagamaan untuk pelestarian alam hanyalah salah satu bagian dari berbagai pendekatan yang harus dilakukan untuk menyelamatkan dan melestarikan keanekaragaman hayati. Perjuangan untuk penyelamatan ini tidak bisa dibebankan saja pada satu pihak tapi membutuhkan keterlibatan semua komponen kebijakan sehingga upaya untuk pelestarian terhadap keanekaragaman hayati dapat terlaksana dengan sangat baik. Sangat diakui, pendekatan pelestarian dengan nilai keagamaan memiliki keterikatan nilai tertinggi dimana resikonya adalah sorga atau neraka atau istilah lainnya adanya pahala dan dosa yang akan diterima oleh manusia. Tugas Pelestarian juga akan menjadi suatu tanggung jawab besar bagi insan yang mengaku dirinya beragama. Dengan demikian kewajiban dalam melestarikan keanekaragaman hayati sama halnya dengan proporsi kewajiban ibadah-ibadah lainnya. Bahkan bisa saja tingkatan kebaikan menjadi lebih tinggi, disebabkan banyaknya manfaat kenyamanan hidup yang dirasakan makhluk hidup lain selain dirinya, akibat dari suatu sikap pelestarian. (*)
Nice posting.....
BalasHapus