Selasa, 07 Juni 2011

Kajian Biologi Jilbab Bukti Kemajuan Nilai Islam

                                    Kajian Biologi Jilbab Bukti Kemajuan Nilai Islam 
                                                        Oleh. Sunandar,S.Si
                               (Guru Biologi Di MAS Ponpes Diniyyah Muarabungo)


Banyak kalangan muslimah yang pro dan kontra jika disuruh berjilbab sesuai tuntunan syariah Islam. Beragam dalih digunakan untuk membenarkan prilaku yang mereka lakukan. Kalangan pro beranggapan wajib bagi kaum wanita yang mengaku dirinya muslimah untuk berjilbab sesuai dengan perintah yang tercantum dalam al quran dan hadist.
Jika tidak dilakukan, maka muslimah tersebut dianggap berlaku dosa pada dirinya dan juga orang lain (baca: kaum laki-laki) yang telah diberi kebebasan cuma-cuma melihat auratnya. Sementara itu, kalangan kontra beranggapan persoalan jilbab adalah persoalan pribadi. Lagipula negara Indonesia bukanlah negara agama dimana segala sesuatu yang berbau syariat harus diterapkan pada setiap individu muslim.Sebenarnya persoalan jilbab bukanlah persoalan agama semata tapi juga merupakan salah satu persoalan identitas kemajuan makhluk hidup dalam pandangan ilmu biologi. Evolusi yang merupakan salah satu cabang ilmu biologi menyatakan suatu makhluk hidup akan memiliki tingkat kemajuan peradaban yang tinggi jika salah satunya adalah organ-organ reproduksinya semakin terlindungi dari dunia luar.
Pada tingkatan kingdom plantae (kerajaan tumbuhan), kelompok angiospermae (tumbuhan berbiji tertutup) merupakan kelompok yang dianggap paling maju karena organ-organ reproduksinya tertutup oleh bunga. Sedangkan pada kingdom animalia (kerajaan hewan), manusia merupakan spesies yang paling maju diantara spesies lain-lainya. Dalam hal ini, jilbab merupakan suatu kiasan lapisan pelindung bagi manusia teriutama kaum muslimah agar organ-organ yang menjadi penarik rangsangan seksual terlindung dari gangguan dunia luar.
Dalam ilmu biologi, evolusi merupakan cabang ilmu yang mempelajari perubahan makhluk hidup mulai dari tingkat paling sederhana hingga tingkat yang paling kompleks untuk mencapai tingkat yang paling maju diantara mahkluk lainnya. Dalam ilmu evolusi ini, kelompok tumbuhan primitif diwakili oleh bangsa lumut.
Hal ini disebabkan bangsa lumut belum memiliki organ pelindung yang komplek untuk melindung bagian archegonium (kelamin betina) dan anteridium (kelamin jantan) yang hanya baru terdapat pada tubuh bagian atas. Posisinya yang terlihat dari dunia luar mempermudah air untuk membantu proses perkawinan secara terbuka dengan mengantarkan serbuk anteridium ke bagian archegonium.
Setelah bangsa lumut, kelompok yang agak lebih maju adalah bangsa paku. Kelompok ini berkembang biak dengan spora yang terletak pada posisi bagian bawah daun khusus yang disebut daun sporofil. Walaupun sudah agak terlindung pada bagian atasnya tapi bagian bawahnya masih terbuka dengan dunia luar sehingga paku dianggap masih tergolong kelompok primitif bersama dengan lumut.
Tingkatan mahkluk yang lebih maju dari lumut dan paku adalah dari kelompok Gymnospermae (tumbuhan berbiji terbuka). Contoh tumbuhan ini adalah; pakis haji, melinjo, pinus, dan damar. Kelompok angiospermai ini berkembang biak dengan biji yang terletak terselip pada daun khusus yang dikenal dengan strobillus (daun buah). Dibandingkan dengan lumut dan paku, posisi biji pada strobillus lebih agak terlindung dari dunia luar, walaupun masih ada celah udara sedikit diantara lembaran-lembaran strobillus.
Berbeda dengan tumbuhan Angiospermae (tumbuhan berbiji tertutup), posisi biji benar-benar terlindung secara khusus melalui organ bunga. Contoh tumbuhan ini diwakili oleh tumbuhan dikotil dan monokotil seperti mangga, durian, pinang, dan sebagainya. Posisi biji terbentuk pada tanaman ini saat bagian ovary yang tersimpan dalam putik (sel kelamin betina) bertemu dengan serbuk sari yang dilepaskan oleh benang sari (sel kelamin jantan).
Pertemuan berlangsung tertutup melalui suatu pembuluh khusus sepanjang bagian dalam putik. Tidak hanya dilindungi oleh lapisan putik, organ pelindung lain yang ikut berperan adalah lembaran-lembaran mahkota dan kelopak. Lembaran-lembaran ini juga melindungi benang sari bersama dengan putik dari dunia luar. Keberadaan bunga dengan lembaran-lembaran mahkota dan kelopaknya sebagai pelindung sel-sel reproduksi merupakan suatu bukti kemajuan tumbuhan angiospermae dibandingkan kelompok tumbuhan lainnya.
Dalam dunia hewan posisi manusia juga dianggap paling maju karena memiliki bobot otak yang lebih besar dibandingkan hewan lain. Bobot otak secara tidak langsung akan mempengaruhi tingkat kecerdasan makhluk hidup. Dengan kecerdasan yang dimilikinya, manusia mempunyai kemampuan mandiri untuk menutupi bagian tubuhnya yang sensitif.
Pada masa lalu, homo erektus (manusia kera) dan manusia purba lainnya baru mampu sebatas menutupi bagian bawah perutnya dengan memakai pelindung sejenis koteka. Pada masa homo sapiens (manusia modern) seperti saat sekarang ini manusia sudah memakai pakaian khusus yang menutupi seluruh bagian tubuhnya yang sensitif. Meskipun masih ada sebagian komunitas yang memakai koteka dalam kehidupannya, namun dalam pandangan sosial dianggap masih terbelakang. Pada masa homo sapiens ini nilai etika dan perasaan malu menjadi aturan hidup dalam pergaulan. Hal-hal sensitif yang berbau reproduksi (baca: aurat) harus ditutup agar tidak memancing kriminalitas dalam kehidupan sosial.
Bagaimanakah dengan persoalan jilbab ? Jilbab dalam kamus Bahasa Indonesia terbitan Departemen Pendidikan Nasional adalah kerudung lebar yang menutupi kepala, leher dan dada. Walaupun sedikit berbeda definisinya oleh sebagian ahli fiqh, jilbab merupakan pakaian yang menutupi seluruh tubuh wanita yang dianggap aurat dalam pandangan Islam.
Namun tak dapat dipungkiri, bahwa rambut, leher dan dada termasuk bagian yang sangat sensitif atau penarik dalam pandangan kaum pria. Karena dianggap penarik bagi lawan jenis maka dalam ilmu biologi dianggap merupakan organ-organ reproduksi yang seharusnya dilindungi dari dunia luar. Sama halnya dengan putik dan benang sari, karena merupakan bagian terpenting dalam perkawinan serbuk sari dan ovary (bagian dalam putik) untuk membentuk biji maka oleh mahkota dan kelopak bagian tersebut tetap dilindungi oleh tumbuhan angiospermai.
Jika melihat perkembangan zaman akhir-akhir ini, secara IPTEK sudah memiliki tingkat kemajuan yang tinggi dibandingkan masa sebelumnya. Hanya saja perkembangan IPTEK tersebut tidak diiikuti manusia dengan perkembangan nilai sosial dan etikanya dalam kehidupan yang berdampak pada tingginya angka kriminalitas dalam kehidupan. Alam telah memberikan gambaran betapa pentingnya makhluk hidup melindung secara rapat organ-organ reproduksinya dari dunia luar agar terhindar dari hal-hal yang membahayakan hidupnya.
Namun pemikiran seperti ini belum dipahami secara mendalam oleh manusia secara keseluruhan sebagai tingkat yang paling maju melihat persoalan alam sekitarnya. Islam ternyata telah mempunyai aturan khusus bagi umatnya untuk menjalani kehidupan. Bagi kaum laki-laki dan wanita punya batasan tertentu yang dianggap organ-organ reproduksinya (aurat).
Wanita Islam atau muslimah punya aturan khusus lagi perlunya memakai jilbab setiap bertemu dengan orang yang bukan pihak keluarganya. Jika mereka ingin menikah, ada aturan khusus yang harus dilakukan dengan menemui pihak orang tuanya. Sama dengan halnya serbuk sari yang hendak menemui ovary. Perlu jalan khusus yang telah disediakan sepanjang putik sehingga tidak terjadi gangguan dari dunia luar.
Tentunya manusia lebih maju dari tumbuhan angiospermae dari sisi etika, rasa malu dan pergaulan sosial sehingga sudah seharusnya manusia mampu mempelajari semua yang terjadi tersebut. Mempelajari untuk kemaslahatan dalam perjalanan hidupnya diatas muka bumi ini. Segala sesuatu yang berbau aurat sudah selayaknya ditutup seperti yang dilakukan oleh tumbuhan angiospermae sebagai tumbuhan yang dianggap paling maju. Mampukah manusia mengalahkan kemajuan angiospermae, semuanya dikembalikan pada individu masing-masing untuk memposisikan dirinya sendiri.
***



Artikel ini sudah pernah diterbitkan pada harian Jambi Ekspress Rubrik Untukmu Guruku pada tahun 2009.


Kriminalitas Sains Dalam Perkembangannya

Kriminalitas Sains Dalam Perkembangannya

                                                            Oleh. Sunandar, S.Si
                                        Dosen Biologi Universitas Muara Bungo (UMB)
                                        Pengajar Biologi Ponpes  Diniyyah Muara Bungo 
                                        Alumni jurusan Biologi FMIPA UNAND Padang


Mungkin judul diatas terkesan radikal bagi orang awam. Namun, jika ditelaah dari perjalanan sains (pengetahuan ilmiah) ternyata pernyataan tersebut memang dapat dibuktikan. Betapa banyak kekerasan dan kejahatan yang terjadi di atas dunia ini berangkat dari sebuah ketidak adilan sains dalam menyikapi persoalan di tengah masyarakat.
Sebuah kisah kejahatan kemanusiaan akibat pengaruh sains telah terjadi di negara-negara maju pada awal perkembangannya. Munculnya kapitalisme, komunisme, fasis, nazi dan berbagai pemikiran kriminal pada era modern tak terlepas dari pengaruh sains tersebut. Bahkan munculnya gejolak sosial di Amerika dan Eropa pada masa-masa awal kebangkitan menuju negara maju, tak terlepas dari cara pandang sains kala itu.
Sains yang sangat berhubungan sekali dengan masalah kriminalitas ini adalah eugenetika yaitu sebuah pemikiran yang berpijak pada konsep evolusi dan genetika dimana menganggap suatu ras, suku, agama atau kelompok tertentu lebih pantas unggul dan dihormati dibandingkan kelompok lainnya. Tentu saja akibat dari pemahaman radikal ini telah menimbulkan kejahatan dan peperangan dimana-mana pada masa itu. Bahkan di sebagian negara maju dan berkembang masih ada yang mempertahankan pemikiran eugenetika ini sampai terjadi kekacauan sosial di tengah kehidupan berbangsa. 
            Pengaruh eugenetika telah mengakibatkan hilangnya ratusan ribu nyawa manusia di beberapa negara maju. Para pendukung eugenetika beranggapan hanyalah masyarakat kelas atas, orang kaya, kulit putih, beragama tertentu dan berbadan sehat saja yang dapat membawa kemajuan bangsa. Sedangkan para pengangguran, orang-orang cacat, penjahat dan idiot dianggap sebagai pembawa masalah kriminal di tengah kehidupan mereka.
       Dampak yang ditimbulkan dari pemahaman eugenetika sungguh mengerikan. Pada tahun 1907 di Amerika Serikat (AS) telah terjadi suatu kejahatan HAM berupa pemandulan manusia secara terorganisir melalui suatu perundang-undangan. Sasaran pemandulan ini adalah masyarakat kelas bawah, kulit hitam atau berwarna ( baca: selain putih), para penjahat, idiot dan para pengangguran. Tujuan program ini adalah mengamankan kecerdasan generasi bangsa yang berasal dari kalangan atas kulit putih dengan meredam pertumbuhan kelas bawah yang didominasi kulit hitam dan berwarna.
       Pernyataan tegas justru pernah disampaikan presiden AS Calvin Coolidge yang melarang ras nordik (kulit putih AS) kawin dengan orang yang berada di luar kalangannya. Hal ini dianggap menimbulkan dampak bakal melemahnya keunggulan ras merek di masa depan.  Hingga tahun 1935, diperkirakan sebanyak 20.000 nyawa telah hilang akibat kesalah pahaman pemerintah AS terhadap eugenetika ini.
       Peristiwa yang sama juga terjadi di Jerman. Saat pemerintahan dikuasai Nazi, sebanyak 375.000 nyawa juga melayang. Kebanyakan mereka adalah kalangan orang yahudi, muslim, orang cacat dan ras di luar bangsa Arya. Pada waktu itu, pemerintahan Jerman yang dipimpin Hittler sangat getol mendukung pemikiran evolusi Charles Darwin yang menyatakan hanyalah makhluk yang kuat dan mampu beradaptasi sajalah yang dapat lolos dari seleksi alam. Hittler menafsirkan ras Arya adalah bangsa yang kuat yang telah lolos dari seleksi alam dan pantas berkembang di atas muka bumi ini.
       Jika ditelaah secara cermat, antara eugenetika dan konsep Darwin mempunyai benang merah yang sama dalam kejahatan sains di atas. Eugenetika pertama kali  dicetuskan Francis Galton (1883) yang juga merupakan saudara sepupu Charles Darwin pencetus konsep evolusi makhluk hidup berdasarkan seleksi alam. Secara tak langsung juga didukung dari konsep Mendel, adanya gen dominan dan resesif dalam pewarisan sifat. Konsep-konsep ini dipahami secara belum matang kala itu, sehingga dijadikan kepentingan politis kalangan atas untuk membasmi kalangan bawah.
       Adanya keinginan besar ras tertentu untuk menguasai dunia telah menjadikan konsep eugenetika sebagai pegangan yang ilmiah. Agar regenerasi keunggulan ras berlanjut, diperlukan keamanan stabil di lingkungan dengan mencegah pertumbuhan ras lain. Orang kaya kalangan atas akan diberi keleluasaan mempunyai banyak anak sedangkan kaum miskin dicegah berkembang bahkan sampai dimandulkan karena dikuatirkan akan menurunkan kualitas bangsa.
       Pemikiran eugenetika telah menjadi catatan hitam perkembangan sains. Di sisi lain pemikiran Evolusi Darwin juga ikut terlibat mempengaruhi eugenetika. Tak heran eugenetika merupakan akar radikal sains yang melahirkan persenjataan modern di kalangan ras-ras dunia seperti penciptaan senjata kimia, biologi dan nuklir. Semua itu bertujuan memberikan keamanan pertumbuhan ras tertentu dan menakuti serta mencegah pertumbuhan ras,suku dan kalangan berbeda lainnya.
       Secara ilmiah tidak ada yang salah dari pemikiran evolusi Darwin meskipun pada masa sekarang ada sedikit perubahan cara pandang terhadap konsep pemikiran itu. Pada masa Darwin, pengamatan evolusi hanya tertumpu pada bagian morfologi (luar) makhluk hidup semata sedangkan pasca Darwin yang diperjuangkan oleh Neodarwinisme (paham darwin baru) sudah mengarah pada bagian molekular sel. Orang-orang seperti Fisher, Haldane dan Wright adalah orang-orang neodarwinisme yang sangat getol mempertahankan konsep Darwin sepanjang waktu. Secara tersirat mereka juga mendukung konsep eugenetika meski seiring waktu mengalami ketertinggalan.
       Gen dianggap oleh kalangan pendukung eugenetika sebagai sesuatu hal yang sangat sakral dan bersifat statis untuk diturunkan. Orang cerdas akan melahirkan anak cerdas, orang kuat akan melahirkan anak kuat dan begitu juga dengan orang sehat akan melahirkan anak sehat. Sifat-sifat itu akan terwarisi antar generasi melalui gen (genotip). Faktor Intelektual Quotient (IQ) menjadi parameter untuk menyeleksi seseorang dalam perkawinan demi menyelamatkan dan mempertahankan keunggulan ras pada generasi masa datang.
       Pembuktian secara ilmiah terbaru telah menggugurkan konsep ini dimana gen bukanlah penentu dari kecerdasan dan keunggulan suatu ras, suku dan kelompok tertentu. Faktor gen hanya mempengaruhi paling maksimal hanya 50 persen sedangkan sisanya dipengaruhi oleh lingkungan yang mendukung untuk pengembangan diri. Anak berbakat bisa dilahirkan dari bapak atau ibu yang cerdas tapi belum mampu menjadi anak yang pintar tanpa bimbingan yang baik dari lingkungan. Bahkan faktor emosional yang dikendalikan dari lingkungan menjadi pemicu keunggulan bangsa.
       Gen juga bukan sebuah alat ramal untuk menentukan nasib masa depan tapi lingkunganlah yang menjadi faktor penentu. Seseorang berkulit hitam ketika diejek-ejek dan ditindas, secara perlahan akan memunculkan emosionalnya untuk bangkit memberontak yang pada akhirnya akan melahirkan kemandirian dan kecerdasan. Terpilihnya Barack Obama sebagai presiden AS di masa sekarang merupakan salah satu bukti proses yang dimaksud tersebut.
       Walau pembuktian secara ilmiah terbaru menyatakan persoalan itu salah tapi konsep eugenetika masih tetap dipertahankan hingga sekarang. Tentu saja, ini lebih banyak kepentingan politisnya dibandingkan keinginan untuk mempertahankan kemajuan bangsa. Seseorang yang menginginkan anak cerdas, akan berusaha mencari pasangan yang cerdas. Begitu juga dengan seseorang yang menginginkan anak sempurna akan menghindari pasangan yang mengalami cacat secara fisik. Sifat-sifat unggul ini selalu dilihat dari sisi silsilah gen induknya. Tentu saja harapan dibalik itu adalah untuk menghasilkan keturunan yang cerdas yang dapat membawa kemajuan bangsa.
        Konsep sesat ini masih berkembang di AS sampai saat ini. UU tentang pemandulan untuk kalangan bawah, pengangguran, idiot dan orang cacat masih tetap dipertahankan di 22 negara bagian AS.  Sasaran utama masih tetap sama, ras kulit hitam dan kulit berwarna.
       Sulit membayangkan jika eugenetika merupakan ajaran sesatnya sains. Namun sesat disini jangan dipahami bukan sesuatu hal yang ilmiah tapi lebih dikarenakan akibat yang ditimbulkan dari pemikiran ini dan kepentingan politis yang bermain dibelakangnya. Eugenetika selalu menjadikan dalih ilmiah untuk menyelamatkan umat manusia dan nasib bangsa dengan menekan pertumbuhan suatu ras dan kalangan yang tak diinginkan. Seandainya nurani bermain disini, maka pelanggaran kemanusiaan ini tidak bakal terjadi.
        Sains butuh bimbingan moral dan agama untuk berkembang. Tidak selamanya sesuatu yang ilmiah menjadi tuhan dalam kehidupan karena ada nurani bermoral dan beragama yang membimbingnya. Biarkan anak cacat lahir ke atas muka bumi karena kita tidak tahu kebaikan apa yang mereka bawa nantinya. Albert Einstein dan beberapa penemu sains di dunia adalah kalangan orang cacat. Mereka telah menghasilkan karya besar bagi dunia berkat motivasi dan bimbingan yang diberi lingkungan pada mereka. Ketika ilmu ini tidak dipahami dengan konsep moral dan agama maka yang terjadi adalah peningkatan kejahatan dan kriminalitas kemanusiaan di atas muka bumi ini. Sudah saatnya dunia berkembang penuh cinta dan perdamaian.***

Artikel ini sudah pernah diterbitkan pada harian Koran Jambi Ekspres rubrik Untukmu Guruku Tahun 2009.



Senin, 06 Juni 2011

MENGEMBALIKAN KHITTAH SISTEM MADRASAH DI PESANTREN

MENGEMBALIKAN KHITTAH SISTEM MADRASAH DI PESANTREN

Oleh. Sunandar, S.Si
(Kepala MA Ponpes Diniyyah Muarabungo)

Sistem
madrasah merupakan sistem yang sangat unik untuk dikembangkan di lingkungan pondok pesantren. Perpaduan yang sangat dinamis antara kurikulum Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), Departemen Agama (Depag) dan keilmuaan pesantren sangat menunjang pembentukan karakter-karakter santri dalam menghadapi tantangan arus globalisasi. Menurut Karel A Stenbrink dalam bukunya “Pesantren, Madrasah dan Sekolah” bahwa perpaduan kurikulum tersebut merupakan solusi dari umat Islam sejak awal abad 20 untuk menjembatani pendidikan agama yang terkandung dalam kitab kuning dengan pengetahuan sains dan teknologi yang dikuasai dunia barat.
Sebagai sistem perpaduan, akhir-akhir ini sistem madrasah pondok pesantren sulit menempatkan posisi yang tawazun (seimbang) di antara kurikulum-kurikulum yang ada. Realita di lapangan telah terjadi dominansi salah satu kurikulum tertentu akibat pemberlakuan kebijakan pemerintah. Pemberlakuan standar kelulusan Ujian Nasional (UN) merupakan salah satu arus besar yang mengerus pengembangan kurikulum keilmuan pesantren (baca: kitab kuning). Di lain pihak, sekolah-sekolah dibawah naungan Depag seperti MTsN, MAN, IAIN, dan STAI juga tidak mengikat  penguasaan keilmuan pesantren sebagai syarat masuk ke lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut. Akibatnya kurikulum keilmuan pesantren yang merupakan salah satu pembentuk sistem madrasah menjadi asing di lingkungannya sendiri.
Jangan heran jika ada alumni sistem madrasah paham terhadap persoalan agama tapi tidak paham terhadap kitab kuning. Bahkan yang lebih parah lagi, ada lulusan sistem madrasah yang lebih paham tentang persoalan pengetahuan umum tapi lemah dalam persoalan agama dan keilmuan pesantren. Terutama terjadi pada sekolah-sekolah yang menerapkan sistem madrasah tapi tidak melalui jalur pondok pesantren.
            Apa yang salah pada sistem madrasah di pondok pesantren ? Sebenarnya tidak ada yang salah pada sistem madrasah karena sesuai dengan prinsipnya yang merupakan perpaduan kurikulum Depdiknas, Depag dan keilmuan pesantren. Hanya saja dalam pengembangannya, terjadi ketidakadilan sistem madrasah terhadap keilmuan pesantren akibat kebijakan instansi-instansi yang menaunginya sehingga menyebabkan kurikulum ini menjadi sempit untuk berkembang.
Pihak pondok pesantren seakan dihantui ketakutan tatkala santrinya tidak lulus UN. Lembaga pendidikan Islam favorit dibawah naungan Depag juga ikut-ikutan menjadikan nilai UN sebagai syarat utama penerimaan siswa baru. Sementara keilmuan pesantren dianggap sebagai pelajaran tambahan saja bahkan tidak dianggap syarat penting untuk masuk ke dalam lembaga pendidikan Islam tersebut. Ketakutan inilah yang menyebabkan pengembangan kajian kitab kuning yang menjadi basic keilmuan pesantren menjadi terpinggirkan dari kurikulum lainnya.
            Kitab kuning merupakan kitab yang ditulis para ulama terdahulu (salafy) yang diambil dari  kajian Al quran dan Hadist. Kajian kitab kuning merupakan salah satu syarat utama dalam pendidikan pondok pesantren di Indonesia. Dari kitab inilah nilai-nilai Islam di transformasikan kepada para santri agar terbentuk karakter yang Islami. Prinsip-prinsip yang dikembangkan disini adalah;  1) memiliki kebijaksanaan menurut ajaran Islam. 2) Memiliki kebebasan yang terpimpin. 3) Kemandirian. 4) Memiliki kebersamaan yang tinggi. 5) Penghormatan yang tinggi pada guru. 6) Kesederhanaan. Enam prinsip itulah yang jadi fokus dalam pendidikan keilmuan pesantren. Dalam arti kata, ruhnya pondok pesantren itu berasal dari kitab kuning yang menjadi basic transformasi akhlak santri.
            Adapun kurikulum Depag lebih banyak menitik beratkan pada pengembangan wawasan keagamaan seperti; bidang studi Bahasa Arab, Aqidah Akhlak, FIQH, SKI, dan materi tsaqofiyah (wawasan) lainnya. Sedangkan kurikulum Depdiknas dalam hal ini lebih banyak menitik beratkan pada kajian eksakta dan pengetahuan umum.
            Peran sistem madrasah di pondok pesantren sangat komplek dibandingkan dengan lembaga pendidikan umum dan lembaga pendidikan sistem madrasah yang tidak memakai pondok pesantren (baca: MTsN dan MAN). Posisi kurikulum keilmuan pesantren yang merupakan salah satu penyusun sistem madrasah akan sangat membantu pembentukan akhlak santri. Sayangnya, kurikulum keilmuan pesantren berbasis kitab kuning ini masih  belum cukup banyak diterapkan terfokus oleh pondok pesantren. Kalaupun ada hanya dilakukan sebatas sambilan dimana tidak seperti fokus pada persiapan UN. Bahkan ada pondok pesantren yang tidak menerapkan sama sekali kajian kitab kuning ini.
Ketika kurikulum ini tidak diterapkan maka posisi MTs dan MA yang ada di dalam pondok pesantren tak jauh berbeda dengan sistem madrasah tanpa pesantren. Kualitas lulusan pendidikan sistem madrasah yang seperti ini juga tak jauh berbeda dengan lembaga pendidikan sekuler (sekolah umum). Perbedaan itu terlihat pada saat santri lulusan pondok pesantren diminta mengisi pengajian agama di tengah masyarakat. Bagi kalangan Islam tradisional dan kalangan Nahdlatul Ulama (NU) yang menjadi mayoritas umat Islam Indonesia, kepahaman seseorang terhadap kitab kuning menjadi syarat kelayakan menjadi kyai, ulama, dan ustadz di tengah masyarakat. Apabila seorang santri lulusan pondok pesantren tidak paham membaca dan memahami kitab kuning maka akan memperburuk image warga padanya. Inilah yang harus dihindari dan dipahami bagi kalangan pondok pesantren dalam mendidik santrinya.
            Kelemahan penerapan sistem madrasah di pondok pesantren harus segera di benah. Tidak boleh ada dikotomi antar kurikulum yang diterapkan. Semuanya harus dianggap mempunyai nilai yang sama bagi pengembangan karakter santri. Santri tidak hanya harus menguasai persoalan agama dan pengetahuan umum saja tapi juga dituntut berakhlak dan berprilaku sesuai tuntutan keilmuan pesantren. Begitu juga sebaliknya, santri tidak hanya dituntut berakhlak Islami saja tapi perlu pengetahuan persoalan agama dan umum agar mampu hidup berdampingan di tengah masyarakat yang modernis ini.
            Langkah-langkah yang perlu diambil untuk menguatkan sistem madrasah ini adalah pembaruan dari sisi pola pengajaran, pengadaan guru spesialisasi di bidangnya dan pengadaan fasilitas fisik dan non fisik.

Pola Pengajaran
Pola pengajaran di pondok ada dua jalur yaitu melalui jalur formal dan informal. Jalur formal dilakukan di dalam kelas dengan aturan-aturan pendukung seperti pakaian, perlengkapan belajar dan penampilan yang harus di taati. Selain itu juga melalui halaqah (seminar). Sedangkan jalur informal dilakukan melalui jalur sorogan (belajar individu), jalsah (diskusi), dan wetonan (belajar secara bersama melalui Kyai).
Perbedaan mencolok selama ini, pola pengajaran kurikulum Depdiknas dan Depag selalu terpaku pada jalur formal. Sedangkan keilmuan pesantren lebih banyak ditransformasikan melalui jalur informal. Masing-masing pola pengajaran tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan. Jalur formal membuat hubungan santri dengan pendidik menjadi kaku sedangkan jalur informal hubungan santri lebih akrab dengan pendidik sehingga mempermudah transformasi ilmu.
Bagi pelajaran-pelajaran yang membutuhkan keseriusan totalitas seperti eksakta dan bahasa dibutuhkan jalur formal. Tapi jalur informal seperi jalsah dapat juga dikembangkan karena terkesan lebih santai dan memudahkan otak santri dalam memahaminya.
Seorang pendidik di lingkungan pondok pesantren tidak boleh membedakan antara yang menangani pengajaran kurikulum Depdiknas, Depag dan keilmuan pesantren. Masing-masing harus bersatu dalam tataran nilai cita-cita pondok sesuai dengan kreatifitas mereka dalam penyampaian materi. Pengajar kurikulum Depdiknas dan Depag sewaktu-waktu dituntut mengajar informal agar pola interaksi santri dengan pendidik menjadi lugas. Dalam hal ini pengajar kurikulum Depdiknas harus menunjukan nilai prilaku yang dianut pondok sebagaimana pengajar kurikulum lainnya juga lebih dituntut. Begitu juga, pengajar keilmuan pesantren juga dituntut mampu mengajar secara formal agar sewaktu-waktu santri mampu menyampaikan informasi melalui jalur formal di tengah masyarakat.  

Pengadaan Guru Spesialisasi
            Pondok pesantren harus mempunyai keberanian dalam menyeleksi tenaga pendidik. Tidak hanya cukup berakhlak Islami tapi juga harus mempunyai kemampuan spesialisasi di bidangnya. Baik itu mencakup materi pada kurikulum Depdiknas, Depag ataupun keilmuan pesantren.
            Kasus di beberapa pondok pesantren banyak pendidik yang mengajar tidak sesuai dengan kafa’ahnya (keahlian). Pelajaran Biologi terkadang diajar oleh alumni lembaga pendidikan agama. Pelajaran Agama juga terkadang diajar oleh alumni lembaga pendidikan umum. Hal ini akan menimbulkan dampak serius dalam transformasi ilmu. Boleh jadi ada yang salah dan tidak akurat dalam penyampaian sehingga menimbulkan bias bagi santri pasca lulus dari pesantren. Spesialisasi guru sangat dituntut agar mutu lulusan sistem madrasah pondok pesantren dapat bersaing dengan lembaga pendidikan umum dan pendidikan Islam lainnya.

Pengadaan Fasilitas  Fisik dan Non Fisik
            Harus ada keseimbangan dalam pengadaan fasilitas. Pondok pesantren tidak boleh hanya fokus menyiapkan sarana untuk pengembangan kurikulum Depag dan keilmuan pesantren saja tapi juga harus melengkapi fasilitas pengembangan kurikulum Depdiknas. Pengadaan laboratorium IPA, sarana olah raga, pustaka, labor komputer dan internet serta fasilitas penunjang lainnya. Pengadaan fasilitas juga tidak hanya berupa bangunan fisik semata tapi didukung dengan mengadakan kegiatan-kegiatan lomba bernuansa ilmiah. Pembentukan kelompok-kelompok studi ilmiah juga akan sangat mendukung pengembangan sistem semua kurikulum, baik itu bidang sains dan teknologi ataupun bidang agama dan pengetahuan umum.
            Dengan menerapkan ketiga langkah tersebut maka sistem madrasah akan menjadi tawazun terhadap semua kurikulum yang ada. Sudah seharusnya khittah (ciri khas) sistem madrasah mampu menyeimbangkan posisinya terhadap ketiga kurikulum tersebut sesuai dengan prinsip yang dicetuskan para pendahulunya. ***

#artikel ini sudah diterbitkan sebanyak 3 kali di harian Koran Jambi Ekspress JPPN pada rubrik Untukmu Guruku pada tahun 2009 dan 2010



TUGAS BEST PRACTICE PPG DALJAB UMM Malang : Bernalar Kritis Fase E

  Peningkatan daya nalar kritis peserta didik Fase E melalui model pembelajaran Project Based Learning di MAS Diniyyah Muarabungo Jambi O...