FLEKSIBELITAS NEGARA UNTUK KURIKULUM PESANTREN
Kurikulum pendidikan pesantren akhir-akhir ini semakin terancam. Kurikulum yang terlahir dari rahim asli pendidikan Indonesia ini makin kehilangan identitasnya disebabkan ketidakadilan negara yang lebih mengayomi kurikulum non pesantren di tengah kehidupan berbangsa. Persoalan bukan semata terjadinya perubahan pola dan media ajar tapi juga sudah merombak tatanan muatan materi kurikulum yang menjadi inti pendidikan karakter dunia pesantren. Perubahan pola dan media ajar barangkali sudah suatu konsekwensi keharusan mengikuti tantangan zaman, namun perubahan tatanan muatan kurikulum adalah suatu hal yang sangat berbahaya karena berdampak hilangnya kurikulum asli milik bangsa ini secara perlahan-lahan. Padahal kurikulum ini sudah melahirkan banyak tokoh besar dan para pahlawan negeri ini dalam memperjuangkan kemerdekan di masa lalu.
Munculnya Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan
(Permendikbud) No 59 tahun 2014 tentang kurikulum 2013 Sekolah Menengah
Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA) adalah awal sebuah petaka yang merusak tatanan
kurikulum pesantren. Permendikbud yang lahir sebagai pengganti Permendikbud No
69 tahun 2013 tentang kerangka dasar dan struktur kurikulum SMA/MA secara
substansial tidak mengalami banyak perubahan penting bagi pesanten. Dalam
berbagai pelatihan kurikulum yang diadakan Badan Standarisasi Nasional Pusat
(BSNP), dan instansi-instansi pendidikan terkait lainnya, sering ditegaskan
kewajiban mengikat akan penerapan permendikbud no 59 tahun 2014 ini bagi semua
instansi SMA/MA, termasuk unit SMA/MA dalam naungan pesantren.
Salah satu substansi Permendikbud No 59 tahun 2014 adalah
adanya penetapan struktur muatan kurikulum dan jumlah beban belajar tatap muka
yang harus diterapkan SMA/MA secara keseluruhan, termasuk yang berada dalam
naungan pesantren. Sebanyak 42 sampai 44 jam kewajiban beban mengajar SMA per minggu harus
dipenuhi dan tambahan 10 jam bagi MA; mata pelajaran (mapel) Akidah Akhlak,
Quran-Hadist, Fikh, Sejarah Kebudayaan Islam (SKI), dan Bahasa Arab. Dengan
demikian total beban ajar tatap muka wajib bagi kurikulum SMA/MA berkisar 42
sampai 54 jam per minggu. Dengan total alokasi sebanyak itu, tentu akan
mematikan ruang pengembangan kurikulum pesantren yang memiliki mapel tak kalah
banyak dari kurikulum non pesantren. Muatan pelajaran pesantren meliputi
seperti; Tafsir, Ilmu Tafsir, Hadist, Ilmu hadist, Musthalah hadist, Ushul
Fikih, Nahwu, Sharaf, Tarikh, Balaghah, dan mapel agama lainya akan terancam
tidak maksimal dalam proses pengajarannya. Tidak hanya itu, berbagai kegiatan
pembiasaan dan pembinaan seperti; tahfizul quran, praktek ibadah amaliah, qiyamulail,
praktek seni dan budaya keislaman, pendidikan kecakapan hidup, olah raga dan
berbagai kegiatan ektrakurikuler lainnya juga ikut terancam tidak optimal.
Menyikapi realitas tersebut, banyak pesantren akhirnya bertindak tidak menerapkan
Permendikbud no 59 tahun 2014 seutuhnya. Contoh kasus; mapel Seni budaya, Ketrampilan,
dan Pendidikan jasmani dan kesehatan (penjaskes) yang menjadi tuntutan wajib
kurikulum SMA/MA ditiadakan dalam proses jam tatap muka formal pesantren tapi dialihkan
pada saat kegiatan ekstrakurkuler sore hari saja. Beban ajar mapel Pendidikan Kewarganegaran
(PKn), Bahasa Indonesia dan beberapa program IPA/IPS dikerucutkan menyesuaikan
masuknya beberapa mapel kurikulum pesantren ke dalam jadwal formal. Dan masih banyak
kebijakan sengaja lainnya yang dilakukan bertujuan mengamankan keberlangsungan kualitas
muatan kurikulum pesantren bisa berjalan optimal sesuai tuntutan kualitas
pesantren.
Keinginan diharapkan kurikulum negara sebenarnya adalah
adanya penggabungan secara utuh kurikulum SMA/MA dengan kurikulum pesantren
tanpa melanggar permendikbud. Namun solusi ini tidak tepat karena tidak akan
bisa berlangsung secara efektif di lapangan. Suatu hal mustahil dipaksakan
mengingat banyaknya alokasi muatan materi pelajaran SMA/MA yang diberikan
meskipun dunia pesantren sendiri dianggap memiliki alokasi waktu lebih banyak
dibandingkan kurikulum non pesantren, sebab santri di asramakan. Namun realita
di lapangan, alokasi waktu itu tetap sangat sempit bagi ruang pengembangan kurikulum
pesantren karena ada banyak materi kurikulum pesantren yang sudah mengalami
perubahan pola dan media ajar mengikuti sistem pendidikan formal saat ini. Jika
selama ini sering menggunakan metoda sorogan
(setoran individual) dan wetongan
(berkumpul melingkari guru) maka sekarang secara perlahan beralih mengikuti
pola belajar formal menggunakan papan tulis dan media ajar lainnya dalam ruang
kelas seperti yang dilakukan pada kurikulum SMA/MA.
Tak dapat dipungkiri, persoalan diatas muncul karena pondok pesantren memiliki jenjang SMA/MA, sehingga suka tidak suka harus mengikuti kurikulum yang ditetapkan permendikbud No 59 tahun 2014 ini. Jika ditelusuri jauh kebelakang lagi, kemunculan kurikulum SMA/MA ini adalah suatu bentuk keterpaksaan pesantren mengayomi para santrinya menghadapi kebijakan negara yang lebih mengutamakan penerimaan pegawai negara dan kemudahan lapangan kerja bagi para lulusan berijazah negeri (baca: SMA/MA). Lulusan pesantren mengalami kesulitan bersaing karena peluang diberikan negara sangat sempit dimana lebih mengutamakan para lulusan pendidikan SMA/MA ketimbang para ahli ilmu agama kepesantrenan. Realita inilah menyebabkan pesantren bersikap fleksibel memunculkan kurikulum SMA/MA agar bisa mempertahankan eksistensinya dalam kehidupan bernegara.
Tak dapat dipungkiri, persoalan diatas muncul karena pondok pesantren memiliki jenjang SMA/MA, sehingga suka tidak suka harus mengikuti kurikulum yang ditetapkan permendikbud No 59 tahun 2014 ini. Jika ditelusuri jauh kebelakang lagi, kemunculan kurikulum SMA/MA ini adalah suatu bentuk keterpaksaan pesantren mengayomi para santrinya menghadapi kebijakan negara yang lebih mengutamakan penerimaan pegawai negara dan kemudahan lapangan kerja bagi para lulusan berijazah negeri (baca: SMA/MA). Lulusan pesantren mengalami kesulitan bersaing karena peluang diberikan negara sangat sempit dimana lebih mengutamakan para lulusan pendidikan SMA/MA ketimbang para ahli ilmu agama kepesantrenan. Realita inilah menyebabkan pesantren bersikap fleksibel memunculkan kurikulum SMA/MA agar bisa mempertahankan eksistensinya dalam kehidupan bernegara.
Sikap fleksibel pesantren memasukan kurikulum SMA/MA
ini seharusnya patut diapresiasi dan disambut positif oleh negara. Keterpaduan
kurikulum pesantren dan non pesantren ini sebenarnya adalah suatu tuntutan realita
UU No 20 tahun 2013 Bab X pasal 36 yang sedang dijalankan dunia pesantren. Pada
prinsipnya kurikulum disusun sesuai jenjang pendidikan dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan aspek; a) peningkatan iman
takwa, b) peningkatan akhlak mulia, c) peningkatan potensi, kecerdasan dan
minat peserta didik, d) keragaman potensi daerah dan lingkungan, e) tuntutan
pembanguna daerah dan nasional, f) tuntutan dunia kerja, g) perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni, h) agama, i) dinamika perkembangan global,
dan j) persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan. Dengan memperhatikan
aspek-aspek tersebut, sikap fleksibel pesantren terhadap kurikulum SMA/MA telah
memenuhi secara langsung semua aspek yang dikehendaki UU tersebut
Negara sudah seharusnya menyelamatkan keterlaksanaan
utuh kurikulum pesantren di negeri ini. Memberikan ruang pengembangan dan
pengakuan adalah suatu bentuk apresiasi negara dalam melindungi kurikulum asli
yang telah banyak melahirkan para tokoh besar dan pahlawan negeri ini yang dihargai
tidak hanya dalam negeri, regional bahkan di tingkat internasional. Sebutlah,
Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, KH. Hasyim Asyari, Buya Hamka, KH
Ahmad Dahlan, Rahmah El Yunusiah, H Rasuna Said, dan lain sebagainya. Beberapa
tokoh masa sekarang seperti Prof. Dr Din Syamsudin, Dr Hidayat Nur Wahid, KH.
Hasyim Muzadi juga tak terlepas dari binaan pesantren. Bahkan Presiden RI ke-3
KH Abdurrahman Wahid juga merupakan produk tulen dunia pesantren. Artinya,
produk pesantren terbukti memiliki peran yang tidak bisa diremehkan. Meremehkan
produk pesantren sama halnya meremehkan jerih payah para tokoh tersebut yang
telah berbuat banyak bagi negeri ini.
Memberikan ruang fleksibelitas penerapan
permendikbud No 59 tahun 2014 adalah sebuah solusi terbaik bagi kurikulum pesantren.
Diperlukan revisi Permendikbud ini, khususnya bagi penerapan kurikulum SMA/MA dalam
naungan pesantren. Alokasi beban ajar 44 sampai 52 jam per minggu telah
membelenggu hampir 75 % pengembangan muatan kurikulum pesantren. Negara bisa
memberikan dan menetapkan porsi alokasi struktur dan waktu beban ajar sekitar
20 sampai 30 jam per minggu bagi kurikulum SMA/MA pesantren. Porsi itu
diberikan bagi muatan kurikulum wajib SMA/MA karena pentingnya
keterlaksanaannya pada Ujian Nasional (UN) dan Ujian Akhir Madrasah Berstandar
Nasional (UAMBN) bagi negara setiap akhir tahun ajaran. Selanjutnya, sisa
alokasi waktu bisa dimaksimalkan pesantren dengan mengembangkan materi
kurikulum lainnya yang bersumber dari berbagai kitab klasik (kitab kuning) dan kegiatan
pembinaan kualitas pesantren.
Fleksibelitas negara untuk kurikulum pesantren
dengan memberikan ruang kelonggaran pengembangan struktur muatan kurikulum dan
beban mengajar bukanlah sesuatu hal yang perlu dikuatirkan terhadap kualitas
bangsa. Beberapa tahun terakhir, beberapa pesantren justru telah mampu membuktikan
kemampuan bersaingnya terhadap kurikulum SMA/MA non pesantren. Santri MA
Pesantren Husnul Khotimah Jawa Barat berhasil meraih medali emas ajang
Olimpiade Sains Nasional (OSN) 2015 bidang Geografi. Begitu juga dengan MA
Pesanten Darul Mursyid Sumatera Utara yang juga berprestasi meraih medali
perunggu OSN bidang kebumian. Artinya, negara tidak perlu lagi kuatir akan
kualitas pengembangan kurikulum pesantren. Memberikan kebebasan pesantren
mengembangkan kurikulum SMA/MA dengan caranya sendiri adalah cara terbaik
menjaga keaslian kurikulum pesantren yang sudah mengakar di negeri ini jauh
sebelum Indonesia merdeka.
Dan sebuah realita yang tidak bisa terelakan bahwa
negeri ini sejak dulu sudah mengembangkan dua model kurikulum yaitu kurilum
pesantren dan non pesantren. Kurikulum pesantren sebagai warisan asli dan kurikulum
non pesantren yang dikembangkan dari penjajahan Belanda. Hanya saja, selama ini
negara baru mengakui secara resmi penerapan bagi kurikulum nasional adalah hanya
kurikulum SMA/MA semata dalam berbagai penerimaan pegawai negara dan lapangan
kerja. Sudah seharusnya negara mengakui dua kurikulum sebagai suatu bentuk
keadilan dan menjadi bagian sistem kurikulum nasional yang dibakukan karena kurikulum
pesantren telah ikut menyumbangkan kemajuan bangsa ini sejak lama.
Terakhir, negara harus berkomitmen memperjuangkan
fleksibelitas kurikulum pesantren ke dalam sistem kurikulum nasional melalui
permendikbud secara resmi. Dalam Batang Tubuh UUD 1945 pasal 28 C ayat 1 bahwa
“setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya,
berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan
teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi
kesejahteraan umat manusia. Dilanjutkan dengan ayat 2 setiap orang berhak untuk
memajukan dirinya memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat,
bangsa dan Negara. Dengan demikian, dunia pesantren juga memiliki hak dalam
mengembangkan kurikulumnya sendiri sebagai suatu cara dalam membangun bangsa ini
dengan keunikan dan kekhasannya sendiri. Dan ini akan menjadi bagian kekayaan sistem
kurikulum nasional yang dapat membentuk karakter unggul generasi bangsa dalam
menghadapi ragam tantangan zaman.(*)
Posted by. Sunandar,S.Si
(kepala MAS Pesantren Diniyyah Al Azhar Muara Bungo-Jambi)
Komentar
Posting Komentar