Selasa, 21 Juni 2011

CARA AGAMA MEMANDANG KONSERVASI ALAM

Pendekatan Agama Untuk Pelestarian Keanekaragaman Hayati

Oleh. Sunandar, S.Si
(Kepala MAS Diniyyah Al Azhar Bungo dan Sarjana Ekologi Jur. Biologi Universitas Andalas)


Pelestarian keanekaragaman hayati (Biodiversity) adalah sesuatu hal yang sangat penting dalam kehidupan. Keragaman makhluk hidup akan memberikan kekuatan untuk terjadinya interaksi antar seluruh komponen yang ada di alam. Namun keragaman tidak selamanya stabil. Ada kalanya mengalami penurunan yang disebabkan faktor alam (gempa bumi, banjir, kebakaran dan longsor) ataupun faktor dari manusia yang rakus mengeksploitasi alam. Penebangan liar, perburuan illegal, pembukaan lahan dan pemukiman tanpa terkendali serta fragmentasi lahan untuk kawasan industri merupakan gangguan manusia yang sangat diperhitungkan sekali di masa kini sebagai pemicu utama terjadinya penurunan nilai keanekaragaman hayati di alam.
 Penurunan pada nilai keanekaragaman akan menyebabkan turunnya hubungan interaksi antar makhluk hidup sehingga keseimbangan tidak ada lagi. Jika ekosistem terganggu maka semuanya yang ada di dalamnya termasuk manusia akan ikut merasakan dampak buruknya. Walaupun juga ada faktor dari alam seperti; banjir, longsor, kebakaran , gempa bumi dan sebagainya tapi sebagian dari kasus-kasus tersebut justru diinisiasi (diawali) ulah manusia itu sendiri. Ekosistem yang sudah terlalu rusak oleh manusia mengakibatkan kemampuan alam agak sedikit kesulitan untuk melakukan suksesi atau menormalisasinya sehingga bencana alam menjadi tak terhindarkan untuk tidak terjadi.  
Konsep pelestarian keanekaragaman hayati membutuhkan banyak pendekatan agar keselamatan alam bisa terlaksananya dengan baik. Salah satu pendekatan yang coba untuk digalakkan para konservasionist (ahli konservasi) adalah melalui pendekatan nilai-nilai keagamaan. Bukan bermaksud mengesampingkan pendekatan lain seperti; ilmu pengetahuan dan teknologi, pendekatan hukum, pendekatan sosial budaya, dan pendekatan wisata tapi pendekatan ini dianggap penting karena dogma-dogmanya yang sangat mengikat. Pendekatan keagamaan dalam pelestarian memiliki makna bahwa nilai-nilai keagamaan dapat menjadi sendi yang sangat penting untuk menaungi terlaksananya pelestarian alam di lingkungan masyarakat yang beragama.
Keraf (2002) menyatakan pada dasarnya seluruh agama di dunia mengajarkan manusia untuk hidup damai, berkelanjutan dan berharmonisasi dengan alam. Spritualitas keagamaan diakui Mangunjaya (2006) penting untuk jadi pertimbangan para ahli lingkungan untuk mengingatkan manusia agar memelihara dan melestarikan alamnya.. Fritjof Capra juga pernah mengungkapkan bahwa banyaknya musibah yang terjadi di bumi disebabkan karena pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang dilakukan manusia sangat minus dengan nilai-nilai spritualitas. Mantan Wakil Presiden Amerika Serikat Al Gore juga membenarkan hal yang demikian dengan mengungkapkan pernyataan yang cukup terkenal yaitu;
Semakin dalam saya menggali akar krisis lingkungan yang melanda dunia, semakin mantap keyakinan saya bahwa krisis ini tidak lain adalah manifestasi nyata dari krisis spiritual kita
Dengan demikian, konsep pelestarian terhadap keanekaragaman hayati tidak lagi menjadi monopoli orang-orang ekologi saja atau orang yang fanatik dengan prinsip konservasionisme (paham konservasi) semata saja tapi menjadi syariat yang dapat dipakai oleh seluruh manusia yang mengaku beragama. Masalahnya, krisis lingkungan saat ini sangat membutuhkan keterlibatan agama sebagai sendi untuk melestarikan alam. Dogma-dogma agama sangat diperlukan untuk memberikan kekonsistenan sikap manusia dalam melakukan penyelamatan terhadap alam dimana beragam makhluk mendiaminya dan hidup di dalamnya.  
Aplikasi  keterlibatan agama secara nyata mulai dibuka dan  diterapkan pasca Deklarasi Assisi (1986) yang dimotori oleh World Wildlife Fund (WWF) di Assisi Italia. Para tokoh agama masing-masing diberi kebebasan menyampaikan pandangan keagamaannya terkait upaya pelestarian alam dan membangun komitmen bersama dalam deklarasi untuk menyelamatkan lingkungan alam dari krisis.
Menurut Primack et al (2007) ada beberapa point pernyataan penting yang diungkapkan para tokoh agama dalam Deklarasi Assisi tersebut terkait penyelamatan lingkungan.
1.            Manusia adalah pengemban amanah yang berkewajiban untuk memelihara keutuhan ciptaan-Nya, integritas bumi, serta flora dan faunanya, baik hidupan liar maupun keadaan alam aslinya. (Pandangan Tokoh Agama Muslim)
2.            Kami melawan segala terhadap segala bentuk eksploitasi yang menyebabkan kerusakan alam yang kemudian mengancam kerusakannya (Pandangan Tokoh Agama Kristiani).
3.            Kita harus mendeklarasikan sikap kita untuk menghentikan kerusakan, menghidupkan kembali menghormati tradisi lama kita (Pandangan Tokoh Agama Hindu).
4.            Kerusakan lingkungan hidup merupakan akibat dari ketidaktaatan, keserakahan dan ketidakpeduliaan (manusia) terhadap karunia besar kehidupan (Pandangan Tokoh Agama Budha).
Dalam skala regional, pertemuan tokoh agama juga pernah dilakukan yang difasilitasi oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bekerja sama dengan The World Bank dalam acara Conference on Religion and Conservation pada 18 Desember 2002, yang menghasilkan ‘Kebun Raya Charter’ . Inti dari piagam ini adalah sangat perlunya meli­bat­kan peran para pemuka agama dan ulama dalam menanggulangi permasalah konservasi alam dan lingkungan hidup.
Pelestarian bukanlah sesuatu hal yang asing dalam nilai-nilai keagamaan. Banyaknya kerusakan alam bukanlah menandakan bahwa pelaku umat yang beragama tidak memiliki nilai-nilai asasi terkait pelestarian alam. Tentu hal ini sangat berbeda dengan apa yang dianggap oleh Lyn White JR. Dia menganggap agama-agama monotheisme mengambil sikap tidak bersahabat dengan alam dimana posisi manusia dianggap sebagai makhluk superior di atas alam sehingga eksploitasi alam menjadi sesuatu hal  yang sakral dibenarkan. Pemikiran Lyn White memang tidak dapat dibenarkan tapi apa yang diungkapkan seharusnya menjadi introspeksi manusia  yang beragama bahwa ketidakkonsistenan taat terhadap nilai agama (baca: pelestarian) telah menimbulkan interpretasi yang salah bagi mereka yang bangga tidak beragama.
Manusia beragama mestinya benar-benar mengetahui dan menjalani nilai-nilai yang tercantum dalam agamanya. Salah satunya adalah adanya kewajiban untuk melakukan pelestarian terhadap keanekaragaman hayati. Berikut pandangan nilai dari beberapa agama dunia terhadap konsep pelestarian keanekaragaman hayati di alam.
Pandangan Agama Islam                                   
Islam merupakan agama yang sangat menganut prinsip rahmatan lil a’lamin (rahmat bagi seluruh alam). Artinya, setiap manusia yang mengaku sebagai umat Islam sangat dituntut untuk bersikap bijak dan penuh rahmat bagi lingkungannya. Termasuk terhadap keanekaragaman hayati yang menjadi komponen utama lingkungan alam sehingga umat Islam memiliki kewajibaan untuk menjaga dan memanfaatkannya secara lestari.
Allah SWT berfirman dalam Al Quran, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”  (QS : Al-A’raaf-56). Dalam surat lain, Allah SWT juga berfirman, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar (QS: Ar-Rum- 41).
Dua firman Allah diatas sangat nyata terlihat adanya dua penegasan terhadap umat Islam. Penegasan pertama, Allah sangat melarang hamba-hamba-Nya untuk melakukan kerusakan. Kerusakan disini bersifat umum, termasuk salah satunya kerusakan terhadap alam yang menjadi habitat manusia dan makhluk hidup lainnya. Sedangkan penegasan kedua, adanya kejadian kerusakan di darat dan di laut sebenarnya bukan kesalahan pada alam tapi ulah tangan manusia itu sendiri dan mereka jugalah  yang akan merasakan dampak perbuatannya nanti.
Kasus beberapa bencana alam yang terjadi di Negara Indonesia sudah membuktikan kebenaran firman ini. Banjir tahunan yang selalu melanda Ibukota Jakarta disebabkan karena manusia terlalu rakus dalam mengeksploitasi hutan di kawasan Puncak. Lumpur Lapindo Sidoarjo yang merendam ratusan pemukiman yang tak kunjung selesai sampai saat ini juga merupakan  kasus terburuk ulah eksploitasi manusia terhadap alam.  Begitu juga dengan longsor dan kebakaran serta kasus-kasus bencana alam lainnya yang sebenarnya jika diteliti lebih seksama ternyata juga diawali dari kerakusan manusia dalam mengolah alam.
Sikap nyata Agama Islam terhadap pelestarian alam telah ditunjukan Nabi Muhammad Rasulullah SAW semasa hidupnya. Rasul pernah menetapkan suatu kawasan pelestarian yang dikenal dengan istilah sebagai Hima’ dan Harim. Menurut Mangunjaya (2005), Hima memiliki pengertian sebagai suatu kawasan yang khusus dilindungi oleh pemerintah (Imam Negara atau Khalifah) atas dasar syariat guna melestarikan hidupan liar serta hutan. Definisi Hima hampir serupa dengan cagar alam atau taman nasional yang ditetapkan pemerintah saat ini. Kawasan tersebut dilarang untuk dikelola kecuali bagi kemaslahatan umum dan kepentingan pelestarian. Kawasan yang pernah ditetapkan rasul sebagai hima  yaitu, kawasan alam Gunung Al Naqi di sekitar Madinah dengan luas satu kali enam mil ( 1 mil = 1,848 km atau 2049 ha). Kawasan itu memiliki fungsi perlindungan untuk padang rumput, hewan dan tumbuhan yang ada di dalamnya. Sikap rasul ini juga dilanjutkan setelah wafatnya beliau oleh Khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khatab. Dua khalifah ini semasa pemerintahannya telah melakukan tambahan kawasan perlindungan terhadap kawasan al-Rabadzah dan al-Syaraf.
Harim memiliki pengertian yang sedikit berbeda dari Hima’. Jika Hima lebih terfokus kepada pelestarian tumbuhan dan hewan, maka harim lebih menekankan perlindungan pada sungai, mata air, lahan pertanian dan pemukiman. Fungsi harim tidak jauh berbeda dengan kawasan hutan lindung yang ditetapkan pemerintah masa sekarang. Ketentuan yang diterapkan adalah pembangunan pemukiman di kawasan harim sangat dilakukan secara terbatas demi menjaga kestabilan mata air untuk kehidupan keanekaragaman hayati yang ada di sekitarnya. Kerusakan pada harim akan berdampak besar terjadinya krisis air yang dirasakan semua makhluk hidup sekitarnya. Kondisi inilah yang harus dicegah terlebih dahulu.
Pandangan Umat Kristiani
Di dalam Agama Kristiani (Katholik) ada kisah nyata seorang ulama kristiani yang sangat bijak terkait pelestarian lingkungan yaitu; Santo Francis Assisi. Ulama kristiani ini berasal dari kota kecil Assisi di Italia. Dia sangat dihargai sebagai ulama yang sangat menghormati setiap makhuk hidup. Setiap menyaksikan makhluk hidup yang ditemuinya, maka dia akan melihat ada keberadaan Tuhan sehingga harus dihargai keberadaannya..
Dalam sebuah perjalanannya St Francis Assisi pernah melihat sekelompok burung. Ketertarikannya pada sekelompok orang menyebabkan dia meninggalkan rombongan perjalanannya dan mendatangi kelompok burung tersebut. Setiba di hadapan kelompok burung, Francis  Assisi membacakan firman Tuhan sembari berdoa: “Saudara-saudaraku para burung, seharusnya kalian bersyukur kepada sang Penciptamu, dan mencintaiNya, Dia memberimu bulu yang indah sebagai pakaian, serta sayap yang membuatmu dapat terbang ke mana pun yang kau mau. Tuhan telah memberikan kekuasaanya atas mu dibandingkan ciptaan-Nya yang lain, memberimu ruang gerak di udara segar sehingga saat terbang kamu tidak pernah tertubruk atau tidak pernah pula terjatuh. Dialah yang melindungimu dari marabahaya dan mengatur hidupmu tanpa kamu merasakan­nya.”  
St. Francis secara tersirat menjelaskan sangat penting bagi manusia yang mengaku sebagai umat Kristiani untuk menghormati kebebasan makhluk hidup lain di alam sebagai perwujudan sikap menghargai keberadaan ciptaan Tuhan. Kenyamanan dan kebebasan makhluk lain adalah bagian dari kasih sayang Tuhan pada makhluk-Nya yang tidak boleh dirusak dengan ketamakan dan kerakusan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Kelembutan dan keramahan St Francis Assisi terhadap sesama makhluk hidup tidak hanya terhadap kasus kawanan burung saja tapi dia juga berhasil mendamaikan konflik kawanan srigala dengan warga kota Gubbio Italia. Hal ini mendapatkan perhatian serius dari Paus Yohanes Paulus II sebagai sesuatu hal yang positif. Pada tanggal 29 November 1979, St. Francis Assisi mendapat gelar kehormatan dari Paus sebagai “Pelindung Pemeliharaan Kelestarian Lingkungan Hidup dan juga pelopor perdamaian bagi semua agama”.
Pandangan Umat Hindu
Umat Hindu percaya bahwa alam semesta beserta segala isinya adalah ciptaan Tuhan sekaligus menjadi karunia kepada manusia untuk dimanfaatkan bagi kelangsungan hidupnya. Alam semesta harus senantiasa dijaga kelestarian dan keharmonisannya sesuai dengan sikap pemahaman yang sudah diterjemahkan dalam bentuk filosofi Tri Hita Karana, yaitu sebagai tiga jalan menuju kesempurnaan hidup, Jalan pertama adalah hubungan manusia dengan Tuhan; sebagai atma atau jiwa yang dituangkan dalam bentuk ajaran agama yang menata pola komunikasi spiritual lewat berbagai upacara persembahan kepada Tuhan. Jalan kedua, hubungan manusia dengan alam lingkungannya; sebagai angga atau badan tergambar jelas pada tatanan wilayah hunian dan wilayah pendukungnya (pertanian) yang dalam satu wilayah Desa Adat disebut sebagai Desa Pakraman. Dan jalan ketiga yaitu; hubungan manusia dengan sesama manusia; sebagai khaya atau tenaga yang dalam satu wilayah Desa Adat disebut sebagai Krama Desa atau warga masyarakat, adalah tenaga penggerak untuk memadukan atma dan angga.
Pandangan Buddha, Tao, Konfusianisme dan Shinto
Agama Buddha, Tao, Konfusianisme, dan Shinto, menganggap alam sebagai sesuatu yang sangat sakral. Buddha mengatakan pepohonan dan bumi memiliki semangat Buddha, yaitu adanya kehidupan padanya. Tao juga mengajarkan harus adanya hubungan harmonis manusia dan alam. Konfusianisme menekankan bahwa langit dan bumi dinamakan orang tua agung yang memberi kehidupan dan kebutuhan akan hidup.
            Pendekatan keagamaan untuk pelestarian alam hanyalah salah satu bagian dari berbagai pendekatan yang harus dilakukan untuk menyelamatkan dan melestarikan keanekaragaman hayati. Perjuangan untuk penyelamatan ini tidak bisa dibebankan saja pada satu pihak tapi membutuhkan keterlibatan semua komponen kebijakan sehingga upaya untuk pelestarian terhadap keanekaragaman hayati dapat terlaksana dengan sangat baik. Sangat diakui, pendekatan pelestarian dengan nilai keagamaan memiliki keterikatan nilai tertinggi dimana resikonya adalah sorga atau neraka atau istilah lainnya adanya pahala dan dosa yang akan diterima oleh manusia. Tugas Pelestarian juga akan menjadi suatu tanggung jawab besar bagi insan yang mengaku dirinya beragama. Dengan demikian kewajiban dalam melestarikan keanekaragaman hayati sama halnya dengan proporsi kewajiban ibadah-ibadah lainnya. Bahkan bisa saja tingkatan kebaikan menjadi lebih tinggi, disebabkan banyaknya manfaat kenyamanan hidup yang dirasakan makhluk hidup lain selain dirinya, akibat dari suatu sikap pelestarian. (*)









Konservasi Ayam Hutan

MAKALAH BIODIVERSITY


PELESTARIAN AYAM HUTAN MERAH  (Gallus gallus gallus)
MELALUI KONSEP PENANGKARAN





OLEH.
SUNANDAR, S.Si









PASCA SARJANA BIOLOGI 
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2011


  
BAB I. PENDAHULUAN

 1.1. Latar Belakang

            Ayam hutan (Gallus sp) merupakan salah satu kekayaan alam Indonesia yang keberadaannya saat ini semakin langka ditemukan di alam sebagai akibat eksplorasi yang berlebih-lebihan. Pada masa lalu saat kondisi populasi masih stabil, kebanyakan orang menangkap sekedar iseng-iseng saja kemudian dijual, tapi seiring perkembangan waktu di masa sekarang, pekerjaan ini sudah menjadi kegiatan yang berlangsung secara semi profesional. Akibatnya beberapa spesies ayam hutan di Pulau Jawa terus mengalami penurunan populasi. Walaupun ada upaya dari para pembeli untuk melakukan pemeliharaan di rumah, tapi tidak adanya info yang memadai bagaimana cara budidaya mengakibatkan ayam hutan mengalami ketakutan dan kematian dalam penangkaran pada waktu singkat sehingga berdampak pada kegagalan  dalam pelestariannya.  (Tanjung, 2003 cit Mufarid, 1997).
            Ayam hutan merah dalam kategori status konservasi IUCN red list ditempatkan pada kategori Least Concern (LC; Berisiko Rendah) artinya diberikan untuk spesies yang telah dievaluasi namun tidak masuk ke dalam kategori manapun (Alamendah, 2009). Kategori rendah artinya tidak tergolong kepada hewan yang terancam punah. Walaupun tergolong kategori tidak terancam punah, jumlah populasinya di alam juga tidak terlalu banyak. Dan dia merupakan sumber plasma nutfah yang harus dilindungi dan dilestarikan keberadaannya. (Rahayu,  2000)
Secara umum, aktifitas reproduksi ayam hutan diakui semakin sulit disebabkan kuatnya tekanan ancaman perburuan dan penangkapan secara liar di alam. Kondisi lingkungan yang sering mengalami perubahan juga telah ikut mengakibatkan aktifitas reproduksi ayam hutan semakin tidak menguntungkan (Lyavita, 2010). Agung (1996) menyatakan hampir dalam satu dasa warsa terakhir sangat sulit mendengar kokokan ayam hutan di pinggir hutan ataupun di kawasan hutan sendiri. Hal ini sudah menunjukan adanya indikasi mulai terganggunya populasi ayam hutan tersebut di alam.
Gallus gallus gallus merupakan salah satu sub spesies dari kelompok ayam hutan dari kelompok spesies ayam hutan merah (Gallus gallus). Istilah Gallus gallus gallus lebih banyak digunakan untuk ayam hutan merah yang terdistribusi di Pulau Sumatera. Sedangkan di luar Sumatera, ada beberapa sub spesies yang memiliki ciri-ciri hampir menyerupai Gallus gallus gallus. Seperti; Gallus gallus bankiva di Jawa dan Madura, Gallus-gallus murghi terdapat di India dan Bangladesh, Gallus-gallus spadiceus di Myanmar dan Vietnam,
            Tingkat ancaman perburuan dan penangkapan secara liar terhadap Gallus gallus gallus tidak jauh berbeda nasibnya dengan ayam hutan lainnya. Karena itu, upaya pelestarian terhadap Gallus gallus gallus sangat penting dilakukan sejak dini agar populasinya tidak mengalami ancaman kepunahan di masa mendatang. Salah satu upaya untuk menjaga kelestariannya adalah melakukan konsep penangkaran untuk dikembangkan budidayanya dengan menyesuaikan karakter dan habitat untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Budidaya bisa denga cara mengembangbiakan sumber plasma nutfah langsung atau sebagian populasinya disilangkan dengan ayam bekisar dan ayam buras sehingga keberadaannya tetap lestari di alam.

1.2. Rumusan Masalah
Beranjak dari persoalan diatas maka penulisan makalah ini akan membahas:
1. Bagaimanakah konsep penangkaran yang bagus untuk Gallus gallus gallus
2. Kendala apa saja yang dialami dalam pengembangannya ?

1.3. Tujuan
1.  Mengetahui dan memahami konsep pelestarian Ayam Hutan Merah (Gallus gallus gallus) melalui sistem penangkaran
2. Mengetahui kendala-kendala apa saja yang dialami dalam melakukan pengembangan dan pelestarian Gallus gallus gallus ini sehingga bisa menjadi pengalaman untuk budidaya yang lebih baik di masa mendatang
 
 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

 Ayam hutan (Gallus sp) merupakan nama umum untuk jenis-jenis ayam liar yang hidup di hutan. Dalam bahasa jawa disebut ayam alas, bahasa madura (Ajem alas) dan dalam bahasa Inggris disebut junglefowl. Semua istilah tersebut merujuk ada pada habitat dan sifat hidupnya yang liar. Di dunia saat ini terdapat 4 jenis ayam hutan yaitu; ayam hutan merah (Gallus gallus), ayam hutan Srilangka (Gallus lafayetii), ayam hutan kelabu (Gallus sonneratii) dan ayam hutan hijau (Galus varius). Di Indonesia sendiri terdapat dua spesies ayam hutan yaitu spesies Gallus gallus dan spesies Gallus varius. Perbedaan dua spesies ini terdapat pada kondisi habitatnya. Gallus gallus lebih menyukai habitat yang tertutup sedangkan Gallus varius lebih menyukai habitat yang terbuka dan berbukit-bukit. (Widnyana, 2010).
Ayam hutan merah (Gallus gallus) memiliki penyebaran yang cukup luas di dunia. Penyebarannya berada pada kawasan hutan tropis dan dataran rendah dimulai dari India, Bangladesh, China, Vietnam, Myanmar  Malaysia hingga Indonesia. Ada 5 sub spesies ayam hutan merah, dua diantaranya terdapat di Indonesia, yakni Gallus gallus gallus di Sumatera dan Sulawesi, dan Gallus gallus bankiva di Jawa dan Madura, sedangkan Gallus gallus murghi terdapat di India dan Bangladesh., Gallus gallus spadiceus di Myanmar dan Vietnam dan Gallus gallus jaboullei di China Selatan serta pulau Hainan. Istilah Gallus gallus gallus Sumatera terkadang lebih umum disingkatkan dengan Gallus gallus (Anonimus, 2009). Selain memiliki spesies Gallus gallus, di Indonesia sebenarnya juga terdapat jenis ayam hutan lainnya dari spesies Gallus varius (ayam hutan hijau) yang terdistribusi di Pulau Jawa, Bali, Lombok, Flores, dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. (Alamendah, 2009). Notosusanto (2008) menyebutkan untuk ayam hutan merah dari jawa selain Gallus gallus bankiva juga dikenal dengan istilah Gallus gallus javanicus.
    
   
Gambar 1. Beberapa spesies ayam hutan jantan (Gallus sp). 1. Gallus gallus (kanan atas). 2. Gallus lafayettii (kiri atas). 3. Gallus varius (kanan bawah) 4. Gallus sonneratii (kiri bawah) (Simamora, 2008)

Ayam hutan merah (Gallus gallus gallus) memiliki klasifikasi secara lengkap sebagai berikut ini:
Kingdom         : Animalia
Filum               : Chordata
Kelas               : Aves
Ordo                : Galliformes
Famili              : Phasianidae
Genus              : Gallus (Brisson,1766)
Spesies            : Gallus gallus, Lin 1758 (Wikipedia, 2010)
Sub spesies      : Gallus gallus gallus              
Gallus gallus gallus jantan dan betina memiliki perbedaan yang cukup mencolok. Jantan dengan betina berbeda bentuk tubuh, warna dan ukurannya (dimorfisme seksual,). Jantan memiliki bulu yang berwarna-warni dan indah (Gunawan, 2010). Jantan memiliki bulu dada berwarna hitam, jengger tunggal berukuran besar dan bergerigi yang berwarna merah (Bird Club, 2009). Menurut Rahayu (2000), Jumlah gerigi pada pial atau jengger 4-6 gigi yang berdiri tegak dan berkembang cukup bagus. Bulu leher panjang dan sempit, punggung dan sayap berwarna coklat. Mempunyai pial dua buah yang terletak di antara kedua belah tulang rahang bawah. Bulu ekor berjumlah 14 lembar (Bird Club, 2009). Dari sisi ukuran tubuh, Gallus gallus gallus jantan mencapai ukuran agak besar 70 cm. (SBW, 2009).
Gambar 2. Ayam hutan merah jantan
Gallus gallus gallus betina secara morfologi warnanya coklat suram, coretan hitam pada leher dan tengkuk, irisnya berwarna merah, paruh dengan warna tanduk, dan kaki abu-abu kebiruan (SBW, 2009). Dibandingkan jantan, warnanya terkesan monoton dan kusam. (Gunawan. 2010). Ayam hutan betina pada umumnya mempunyai jengger yang bervariasi, ada yang tidak tampak (sangat pendek) ada pula yang mencapai ukuran 10 mm. Sayap ayam betina bulunya berwarna merah kecoklatan dan lurik hitam. Cakarnya berwarna gelap (hitam kehijau-hijauan) dan telurnya berwarna coklat atau merah kekuning-kuningan tapi kadang-kadang ditemukan juga yang berwarna putih polos (Bird Club, 2009). Dari sisi ukuran tubuh, Gallus gallus gallus  betina berukuran 42 cm. (SBW, 2009).
Gambar 3. Ayam hutan merah betina
Dari sisi habitat ayam hutan  merah menyukai hutan yang tertutup pada ketinggian 1500 m dpl.  Baik di daerah yang kering ataupun di hutan lebat yang lembab. Sarangnya terletak di pohon-pohon (Bird Club, 2009).
Prilaku ayam hutan merah cukup unik. Ayam hutan merah hidup secara berkelompok dengan membentuk suatu kumpulan yang paling besar diantara kerabatnya. (Bird Club, 2009). Satu kelompok terdiri atas satu ayam jantan yang dikelilingi oleh ayam betina (Widnyana, 2010). Tingkah laku jantan sangat dominan dalam melindungi betina dan anak-anaknya dari gangguan luar seperti predator dan pemburu serta gangguan lainnya (Rahayu). Pejantan yang kuat dapat menguasai tiga sampai lima ekor betina.  Adapun pejantan muda hidup menyendiri (soliter) atau membentuk kelompok kecil tersendiri sampai tiga ekor betina. Selain itu, mempunyai kemampuan untuk melakukan pergantian bulu. Pergantian bulu dilakukan pada bulan Juni sampai September, dan mulai tumbuh kira-kira pada awal tahun. (Bird Club, 2009).
Ayam hutan memiliki kebiasaan tidur diatas ranting perdu atau semak, dan tidak terlalu jauh diatas tanah serta mengerami telurnya hingga menetas disana. Anak-anak ayam hutan diasuh oleh betinanya. Tidak seperti ayam peliharaan, ayam hutan memiliki kemampuan terbang yang lebih bagus setelah meninggalkan sarang tempatnya menetas (Widnyana, 2010)
Ayam hutan merah ( Gallus gallus gallus ) merupakan burung pemakan segalanya (Omnivora). Jenis makanan yang dimakan biasanya adalah pucuk-pucuk rumput, biji-bijian, dedaunan, serangga, larva, cacing dan berbagai hewan kecil yang ditemukannya.. Umumnya makanan yang dimakan adalah makanan segar yang tidak mengandung lemak. Dalam pemeliharaan, makanannya dapat berupa pelet, biji-bijian, hijauan, grit (pasir) dan makanan tambahan lainnya (Bird Club, 2009 cit Waluyo, 1984).
Menurut Rahayu, biji-bijian merupakan sumber energi bagi ayam hutan merah. Serangga, larva, cacing dan hewan kecil lainnya sebagai sumber protein. Sedangkan dedaunan, buah, akar dan umbi-umbi sebagai gizi pelengkap.
Di Indonesia terdapat dua sub spesies dari ayam hutan (Gallus gallus) yaitu; Gallus gallus gallus dan Gallus gallus bankiva. Gallus gallus gallus memiliki ciri-ciri bobot ayam jantan dewasa 0,9 – 1,2 kg sedangkan bobot ayam betinanya 0,7 – 0,8 kg. Pada saat musim kawin, produksi telurnya 5-7 butir per musim. Adapun Gallus gallus bankiva bobot ayam jantannya 0,7 kg dan betina 0,4 kg. Produksi telur sama dengan Gallus gallus gallus yaitu 5-7 butir per musim. Telur berwarna kuning pucat kemerahan. (SBW, 2009).
Kedua sub spesies tersebut dianggap merupakan nenek moyang ayam buras yang sudah didomestikasi dan dibudidayakan pada masa sekarang (Anonimus, 2009). Sedangkan nenek moyam ayam bekisar merupakan hasil persilangan ayam hutan merah dan ayam hutan hijau (Widnyana, 2010).
Konsep persilangan merupakan salah satu bentuk pelestarian yang dilakukan manusia melalui konsep domestikasi. Konsep domestikasi terhadap ayam hutan sudah berkembang sangat lama. Hasil penelitian DNA molekuler menemukan bahwa ayam domestikasi berasal dari satu moyang (monophletic) yaitu spesies ayam hutan (Gallus gallus). Ayam hutan merah sendiri dianggap berada dalam lingkaran besar ayam domestikasi di masa lalu. Posisi Indonesia juga disebutkan sebagai salah satu dari tiga wilayah dunia yang menjadi pusat domestikasi di masa lalu bersama dengan China dan India. Hasil pembuatan filogeninya menyatakan bahwa rumpun ayam dunia terbagi atas tujuh clade yaitu; clade I, clade II, clade IIIa, clade IIIb, clade IIIc, clade IIId dan clade IV. (Ant, 2008).

 BAB III. PELESTARIAN DENGAN KONSEP PENANGKARAN


Kondisi populasi ayam hutan merah (Gallus gallus gallus) sudah terus mengalami penurunan sebagai akibat habitatnya yang terus menyempit, perburuan dan penangkapan secara liar di alam. Pelestarian sangat diperlukan, agar sumber plasma nutfah ini tidak hilang ke depannya. Selain juga, keberadaan  ayam ini sebagai sumber genetik untuk dapat memproduksi ayam bekisar yang mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Pelestarian diharapkan tidak hanya sekedar melestarikan semata tapi dapat juga dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Pelestarian ayam hutan adalah pelaksanaan dan pengelolaan dan upaya mempertahankan populasi di alam maupun dalam keadaan terkurung (Prijono, 2008).
Konsep pelestarian alam di Indonesia difokuskan pada tiga aspek utama yaitu; perlindungan proses ekologi sebagai pendukung kehidupan, pengawetan keragaman genetika dan pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam. Walaupun status ayam hutan merah saat ini belum dimasukkan ke dalam status yang harus dilindungi dalam PP No 7 tahun 1999 dan SK Dirjen PHKA yang masih menempatkan pada hewan non appendik, tapi posisinya sebagai sumber plasma nutfah dan satwa liar membutuhkan perlindungan dan pelestarian secepatnya di sela-sela semakin tinggi ancaman populasi ayam hutan di dunia. (Bird club, 2009).
Menurut Alikodra (1990) konservasi satwa liar, sebagai bagian dari konservasi sumberdaya alam secara umum, merupakan kegiatan yang meliputi perlindungan, pengawetan, rehabilitasi, introduksi, pelestarian, pemanfaatan dan pengembangan satwa liar. Tujuan konservasi satwa liar adalah terjaminnya kelangsungan hidup satwa liar dan terjaminnya kebutuhan masyarakat untuk memanfaatkannya baik langsung maupun tidak langsung berdasarkan prinsip kelestariannya.  Pola konservasi satwa liar di Indonesia mengikuti strategi konservasi dunia, yaitu tidak saja bertujuan untuk melestarikan spesies-spesies yang ada tetapi juga berusaha untuk memanfaatkannya bagi kesejahteraan manusia secara lestari. Dalam pelaksanaannya, konservasi satwa liar diselenggarakan baik di habitat alamnya (in situ) maupun di luar habitat alamnya (ex situ) dengan cara penangkaran. Konservasi secara in situ biasanya dilakukan di beberapa Taman Nasional yang ada di Indonesia. Taman Nasional Baluran Purwo Ijen NP di Jawa Timur memasukkan ayam hutan dalam daftar satwa liarnya sebagai satwa liar yang unik dan dilindungi di dalamnya.
Pelestarian secara ex situ terhadap ayam hutan merah saat ini, antara lain dilakukan di Kebun Binatang, Taman Safari, Taman Burung (Taman Mini Indonesia Indah). Agar tujuan konservasi selalu dapat terwujud maka perlu dilaksanakan suatu sistem pelestarian yang melibatkan peran serta masyarakat. Untuk melibatkan masyarakat pengguna menjadi pelaksana pelestarian maka harus dikembangkan konsep bahwa pemanfaatan satwa ayam hutan memerlukan pelestarian yang dilakukan untuk pemanfaatannya. Salah satu jalan yang dapat ditempuh untuk maksud tersebut  adalah melalui pengembangan di areal penangkaran dengan konsep budidaya ayam bekisar.
Melakukan pemeliharaan ayam hutan merah di areal penangkaran tidaklah mudah. Sifatnya yang sangat liar membutuhkan kehati-hatian dalam melakukan pemeliharaan. Penjinakkan akan banyak menemui kendala. Proses penjinakkan tetap sangat diperlukan agar penanganan di areal penangkaran menjadi lebih mudah. Diakui, kasus di lapangan, banyak ayam jantan yang mengalami stress berat yang berkepanjangan di areal penangkaran dan tidak jarang berakhir dengan kematian. Kematian umumnya disebabkan kelabakan di dalam kandang hingga mengakibatkan luka-luka di kepala sehingga mengalami infeksi dan mati. Atau bisa juga disebabkan stress berat yang mengakibatkan tidak mau makan dan mati. (Bird Club, 2009).
Hasil penelitian Nurdiani (1996, cit Bird Club 2009)) selama 90 hari terhadap lima pasang ayam hutan menunjukkan bahwa ayam hutan yang dipelihara di dalam kandang tidak pernah melakukan perkawinan walaupun telah disekandangkan bersama setelah enam bulan.  Hal ini terjadi diduga karena ayam hutan tersebut masih mengalami cekaman/stress karena pengandangannya sehingga menurunkan fungsi sistem reproduksinya.
Penangkaran ayam hutan dan mengembangkan populasinya tidak cukup mudah walaupun ayam hutan yang dipelihara sudah cukup jinak. Ayam hutan adalah salah satu satwa liar yang mungkin dapat dibudidayakan akan tetapi sukarnya ayam hutan dalam berkembang biak merupakan salah satu masalah yang akan dihadapi jika akan dibudidayakan.
Pada prinsipnya penjinakkan ayam hutan baik jantan maupun betina memerlukan proses yang lama dan memerlukan kesabaran dan ketekunan. Upaya menghindari luka saat kelabakan dapat dilakukan dengan membuat kandang yang terbuat dari anyaman daun kelapa yang diperkuat dengan jepitan bambu atau dengan merentangkan kain atau goni bekas di bagian atas dalam kandang agar saat kelabakan tidak mengenai kurungan. Kemudian kandang ditutup dengan kain dan secara bertahap dibuka sedikit demi sedikit. Kandang sebaiknya di tempatkan pada tempat yang sering dilalui orang agar terbiasa dengan keadaan yang ramai. Untuk mengurangi stress, ayam harus dimandikan dua minggu sekali dengan menggunakan semprotan air terutama di musim kemarau. (Bird Club, 2009).
Cara efektif lainnya untuk kemungkinan berhasil lebih tinggi adalah dengan menetaskan telur ayam hutan yang dititipkan pada ayam kampung betina yang sedang mengeram dan setelah menetas dipelihara bersama dengan anak ayam kampung lainnya. Dengan cara ini, proses penjinakkan akan lebih mudah dan anak ayam hutan akan lebih mengenal dan terbiasa dengan ayam kampung lainnya sehingga pada waktu dewasa ayam hutan jantan akan lebih mudah untuk dijodohkan dengan ayam kampung betina. (Bird Club, 2009).
Penangkaran ayam hutan adalah salah satu cara terbaik untuk tetap dapat mempertahankan populasi ayam hutan merah di alam. Ancaman populasi yang kuat di alam bisa diatasi melalui konsep penangkaran. Tidak hanya melakukan pelestarian sumber plasma  nutfah di penangkaran, konsep pelestarian juga dapat dilakukan sebagian melalui pembentukan ayam bekisar yang dikembangkan konsep persilangan dengan ayam kampung. Untuk proses penangkaran akan lebih mudah dilakukan dengan jalan penetasan dan pembesaran bersama ayam kampung.  Apabila diperoleh beberapa ekor anak jantan dan betina hasil penetasan dan pembesaran, ini dapat dijadikan sebagai stok awal dalam memperbanyak populasi ayam hutan yang ada tersebut. (Bird Club, 2009).
Kesukaran dalam perkembangbiakan ayam hutan nampaknya dapat diatasi jika ayam huatan dipelihara dengan tidak dikandangkan yaitu di dalam lingkungan yang mirip dengan habitat aslinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ayam hutan yang dipelihara di dalam kubah Taman Burung, Taman Mini Indonesia Indah  (TMII) dapat berkembangbiak sepanjang tahun dan bahkan tidak mengenal musim kawin seperti ayam hutan di habitat alamnya yang berlangsung sekitar bulan Juli dan Nopember. Dengan tempat hidup yang memiliki lingkungan yang nyaman sepanjang tahun dan menjamin ketersediaan bahan pangan yang cukup, nampaknya dapat meningkatkan perkembangbiakan ayam hutan.
Gambar .4. Kubah taman burung sebagai area penangkaran ayam hutan merah

Konsep persilangan membentuk ayam bekisar juga sangat diperlukan. Persilangan antara ayam hutan merah (Gallus gallus gallus ) dengan ayam hutan hijau (Gallus varius) atau dengan ayam kampus (Gallus gallus domesticus) akan membentuk ayam bekisar. Permintaan ayam Bekisar di masa mendatang diduga akan semakin meningkat yang akan diiringi meningkatnya eksploitasi terhadap ayam hutan.
Keadaan ini dan juga perusakan hutan yang merupakan habitat ayam hutan yang sangat cepat berpotensi menyebabkan punahnya ayam hutan, oleh karena itu upaya pelestarian perlu untuk dilakukan. Selain mengembangkan konsep penangkaran untuk pemeliharaan sumber plasma nutfahnya, dapat juga dilakukan melalui budidaya pembentukan ayam bekisar. Dengan adanya konsep pembentukan ayam bekisar maka perburuan dan ancaman ayam hutan di alam bisa diminimalisir sehingga populasinya bisa dipertahankan di alam.
Gambar 5. Ayam bekisar
            Kelebihan ayam hutan merah dibandingkan ayam domestikasi adalah ayam hutan mempunyai kemampuan terbang yang jauh lebih baik dibandingkan ayam domestikasi. Kemampuan bertarung dan penyelamatan diri jauh lebih baik dibandingkan ayam domestikasi (Rahayu, 2000). Daya tahan tubuh dan kelincahan, gen ayam hutan juga jauh lebih baik daripada ayam domestikasi. (Ivandelta, 2009)
 
 BAB IV. KESIMPULAN

 Ayam hutan merah (Gallus gallus gallus) merupakan satwa liar dan sumber plasma nutfah yang harus dilindungi dan dilestarikan di alam. Kerusakan habitat hutan, perburuan dan penangkapan liar telah mengakibatkan terjadinya penurunan populasi ayam hutan merah di alam. Oleh karena itu, usaha pelestarian perlu dilakukan. Pelestarian secara in situ dapat dilakukan di habitat asli langsung sedangkan pelestarian secara ek situ dilakukan melalui penangkaran dengan target ke depannya adalah melestarikan sumber plasma nutfah dan pembentukan ayam bekisar. Salah satu konsep penangkaran untuk melestarikan sumber plasma nutfah yang bagus adalah dengan menggunakan kubah taman burung seperti yang dilakukan di Taman Mini Indonesia Indah. Sedangkan konsep pembentukan ayam bekisar yaitu dengan cara menyilangkan dengan ayam domestikasi.

 DAFTAR PUSTAKA


Agung. 2004. Nyaris Tak Terdengar Lagi Kokok Ayam Hutan. Harian Suara Merdeka. Jakarta
Alamendah.2010. Ayam Hutan Merah Nenek Moyang Ayam. Http//.www.alamendah’sblog.com
Alikodra, H. S. 1990. Pengelolaan Satwa Liar. Jilid I. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas-Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Anonimus. Jenis-jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1999. Jakarta
Anonimus.2010. Ayam Bekisar. Http//www.infogue.com
ANT.2008. Ayam Hutan Merah Nenek Moyang Ayam. Harian Kompas 23 Januari 2011.
Bird Club.2009. Pelestarian ayam hutan melalui pembentukan ayam bekisar untuk ternak kesayangan- Bagian-2. Http//.www.omkicau.com
Dirjen PHKA.2008. Kuota Pengambilan Tumbuhan Alam dan Penangkapan Satwa Liar yang tidak termasuk APPENDIX CITES untuk periode 2008. Jakarta
Ivandelta. 2009.Persilangan Ayam Hutan dan Ayam Bangkok. Paguyuban Penggemar Ayam Jago Indonesia (PAPAJI).
Lyavita.2010.Proposal Konservasi Ayam Hutan. Http//.www.lyavita.blogspot.com
Notosusanto.2008. Studi Literatur: Karakter Ukuran Tubuh Ayam Kampung. UNAND Padang
Prijono,dkk.2008. Pelestarian Ayam Hutan Hijau (Gallus varius) in situ dan ex situ. Bidang Zoologi. Puslit-Biologi LIPI.Bogor
Rahayu, I. 2000. Karakteristik dan Tingkah Laku Ayam Hutan Merah (Gallus gallus spadiceus) di dalam kurungan. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.
SBW.2009. Ayam Hutan Merah (Gallus gallus).Http//.www.bioundip.ac.id
Simamora, Jonathan.2010. Empat Jenis Ayam Hutan Langka di Dunia. Http//.www.terselubung.blogspot.com
Tanjung, Masitta.2003. Regulasi Hormon Terhadap Ekspresi Gen Pada Ayam Hutan  (Gallus sp). FMIPA USU. Medan
Wikipedia.2010. Ayam Hutan Merah Http//www.wikipedia.com
Windyana,Surya. Ayam Hutan.Http//.www.anakbali.blogspot.com









Selasa, 14 Juni 2011

Pohon Buatan Jadi Solusi Penyedia Oksigen Baru

Di dunia modern yang penuh polusi, tampaknya menanam pohon secara alami sangat sulit. Namun kini pohon buatan dapat menjadi solusi penyedia oksigen baru.
Peneliti Colombia University di New York bekerja sama dengan Influx Studio di Paris merancang pohon buatan. Mesin mirip pohon darah naga ini dilengkapi cabang lebar dan puncak seperti payung yang berisi panel surya yang bisa mendayai pohon itu.
Gagasan pohon buatan ini muncul di Massachusetss di kompetisi pohon perkotaan Boston Treepods 2011 dan disponsori SHIFTboston. Tim perancang membuat proposal pohon perkotaan buatan ini, pohon ini akan bekerja layaknya pohon asli yang mengubah karbon dioksida menjadi oksigen tanpa perlu ditanam dalam tanah atau disirami.
“Influx Studio sedang menyusun spesifikasi dan berusaha memperoleh patennya. Diperkirakan semuanya akan selesai pada April,” kata Direktur SHIFTboston Kim Poliquin.
Untuk itu, SHIFTboston mulai mencari harga Boston Treepod itu. “Kami berharap segera memperoleh harga kompetitif untuk memproduksi prototipe-nya”.
Treepod ini terdiri dari daur botol plastik dan memanfaatkan teknik penghapusan karbon dioksida yang disebut ‘humidity swing’ yang bisa membantu membersihkan udara. Pohon buatan ini tampak seperti lampu kota futuristis dengan banyak warna.
Selain itu, pohon ini bisa menghasilkan energi dari panel surya atau dari papan jungkat-jungkit yang diciptakan untuk mainan anak-anak di dekatnya. Puritan mungkin akan menolak gagasan pohon buatan ini, namun pohon ini akan menyediakan oksigen bagi mereka.
SHIFTboston menargetkan prototipe ‘tanaman’ ini selesai pada awal 2012. [inilah]

Peneliti Klaim Temukan Cara Buat Mesin Waktu

Rahasia mesin waktu ternyata telah dapat terpecahkan. Setidaknya klaim ini diyakini oleh fisikawan dari Vanderbilt University, yakni Profesor  Thomas Weiler dan rekannya Chui Man Ho. Seperti dilansir dari situs LiveScience, kedua peneliti ini yakin bahwa mesin pemecah partikel terbesar, Large Hadron Collider (LHC) yang terletak di bawah tanah daerah Jenewa, bisa mendukung terciptanya mesin waktu.
Dengan mesin pemecah atom itu, kata Weiler dan Ho, manusia bisa mengirimkan sejenis partikel yang disebut Higgs singlet ke masa lalu atau ke masa depan.
“Teori kami memang masih jauh, tapi setidaknya teori ini tidak menyalahi hukum fisika manapun atau hambatan eksperimental,” kata Weiler.
Teori ini sendiri didasari oleh M-Theory, atau teori segalanya. Teori yang bertujuan untuk menggabungkan semua gaya alamiah yang bisa menjelaskan segala sesuatu di alam semesta.
Higgs singlet sendiri tak bisa dipisahkan dengan Higgs boson. Higgs boson adalah partikel yang paling elementer dari sebuah benda, yang selama ini diyakini memberi massa kepada partikel lainnya.
Para pakar fisika teoritis telah mengembangkan M-theory ini pada kondisi di mana ia bisa mengkomodasi properti-properti semua gaya dan partikel sumatomik, termasuk gravitasi.
Teori ini tak cuma menggunakan empat dimensi seperti yang selama ini kita gunakan, melainkan membutuhkan 10-11 dimensi.
107375 film back to the future Peneliti Klaim Temukan Cara Buat Mesin Waktu
Selama ini mesin pemecah partikel LHC dibangun untuk menemukan Higgs boson. Bila Higgs boson berhasil ditemukan maka para ilmuwan yakin, bahwa ini akan sekaligus menciptakan Higgs singlet secara bersamaan.
Nah, Higgs singlet inilah yang diprediksi mampu meloncat-loncat ke ruang dan waktu yang berbeda. Ia dipercaya oleh Weiler dan Ho, bisa melakukan perjalanan melalui dimensi yang tersembunyi. untuk kemudian kembali masuk ke dimensi kita di masa depat, atau di masa lalu.
Oleh karenanya, kata Weiler, bila manusia bisa mengendalikan pembuatan Higgs singlets, ada kemungkinan kita bisa mengirimkan pesan ke masa lalu maupun ke masa depan. Namun, terlalu cepat untuk berfikir bahwa cerita seperti di film Back to the Future, bisa terwujud.
“Tak mungkin bagi seseorang untuk bisa melakukan perjalanan antar waktu, lalu membunuh salah satu orang tuanya sebelum ia dilahirkan, misalnya,” kata Weiler, pada hasil risetnya yang telah dipublikasikan di situs web riset arxiv.org.
• VIVAnews

TUGAS BEST PRACTICE PPG DALJAB UMM Malang : Bernalar Kritis Fase E

  Peningkatan daya nalar kritis peserta didik Fase E melalui model pembelajaran Project Based Learning di MAS Diniyyah Muarabungo Jambi O...